Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Gereja Katolik mencari cara mewartakan Injil di Jepang

Gereja Katolik mencari cara mewartakan Injil di Jepang

Gereja Katolik di Jepang terus berupaya menemukan cara untuk mewartakan Injil, meskipun muncul berbagai tantangan yang menghalangi upaya evangelisasi di negara tersebut, kata Mgr. Isao Kikuchi, Uskup Agung Tokyo.

“Dalam masyarakat Jepang, sulit untuk menemukan keberhasilan yang nyata dalam kegiatan misionaris,” katanya seperti dikutip Catholic News Agency baru-baru ini.

Dulu, pendidikan bahasa dan budaya dalam masyarakat menjadi cara yang baik untuk menjangkau orang-orang untuk meningkatkan jumlah umat Katolik di Jepang, di mana penganut hanya sekitar 1 persen dari populasinya yang menganut agama tersebut.

“Di masa lalu, para misionaris asing berhasil membuka ruang kelas, mengumpulkan orang melalui kelas bahasa Inggris dan pelajaran budaya. Namun, hal semacam ini telah diganti dengan inisiatif bisnis, ”kata Uskup Agung Kikuchi.

Di masa lalu, bahasa Inggris hanya dituturkan oleh segelintir orang sehingga menjadi alat yang baik untuk menjangkau orang-orang. Pendidikan bahasa Inggris sejak itu menjadi wajib di banyak sekolah, tidak hanya Katolik, dan juga diajarkan di sekolah-sekolah bahasa asing yang dikenal sebagai eikaiwa.

Uskup Kikuchi mengatakan hal ini telah menyebabkan hilangnya pengajaran bahasa asing dan kelas budaya yang menjadi tulang punggung upaya misionaris Katolik.

Upaya-upaya di sekolah menengah dan universitas Katolik yang prestisius seperti Universitas Sophia di Tokyo semakin berkurang, katanya.

- Newsletter -

Sekolah-sekolah ini harus independen dari pengaruh politik nasional, namun sayangnya mereka terikat dengan subsidi negara, dan lambat laun kehilangan keunikan mereka, dengan hanya menyisakan nama ‘Katolik’.

“Keterlibatan banyak imam, religius, dan kaum awam dalam urusan-urusan ini menjadi hilang,” kata Uskup Agung Kikuchi.

Sementara itu, Gereja Jepang telah menghabiskan waktu dalam beberapa tahun terakhir pada proyek-proyek bantuan bencana, kata uskup agung.

Termasuk dalam upaya-upaya itu adalah mendirikan pusat sukarelawan di daerah-daerah yang dilanda gempa bumi dan Tsunami pada tahun 2011 yang menewaskan sekitar 20.000 orang. Aktivitas dukungan mereka masih berlanjut, katanya.

“Kegiatan-kegiatan ini mungkin tidak langsung mengarah pada pembaptisan orang-orang, tetapi ada harapan bahwa banyak orang yang tersentuh oleh semangat Injil akan benar-benar dituntun ke Gereja.”

Sarana penginjilan lain, kata uskup agung itu adalah kehadiran umat Katolik dari luar negeri yang menetap di Jepang.

“Mereka yang telah menikah dan membangun rumah mereka di daerah pedesaan memungkinkan Injil dibawa ke daerah-daerah di mana Gereja tidak pernah memiliki kesempatan untuk terlibat,” kata Uskup Agung Kikuchi.

Banyak dari para imigran itu berasal dari Filipina yang menjadi komunitas asing terbesar keempat di Jepang, dengan jumlah diperkirakan sekitar 250.000 orang.

Mereka membentuk sebagian besar kaum awam Jepang, yang secara rutin mengikuti aktivitas di gereja dan berinteraksi dengan komunitas-komunitas religius baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Tugas penting gereja dan para imama adalah untuk mendorong warga negara asing di Jepang untuk menyadari panggilan misionaris mereka sebagai umat Katolik, kata uskup agung itu.

“Pelayanan pastoral bagi warga negara asing … tidak sekedar sebagai layanan untuk menyambut [tamu], tetapi lebih merupakan tugas untuk membuat mereka sadar akan panggilan mereka sebagai misionaris,” katanya.

Kunjungan Paus Fransiskus bulan ini di negara Asia Timur itu akan mendorong semangat umat Katolik. 

Language and cultural education in communities were once a good way to reach out to people to try and boost Catholic numbers in Japan where only about 1 percent of the population adhere to the faith.

“In the past, foreign missionaries succeeded in opening classrooms, gathering people through English and cultural classes. However, these have been replaced by the initiatives of business enterprises,” Archbishop Kikuchi said.

Whereas in the past English was spoken by few and provided a good tool to reach out to people, English education has since become compulsory in many schools, not just Catholic, and is also taught in foreign-language cram schools known as eikaiwa.

This has edged out amateur foreign language and cultural classes that formed the backbone of Catholic missionary efforts, Archbishop Kikuchi said.

Efforts in prestigious Catholic high schools and universities like Sophia University in Tokyo are on the wane, he said.

These schools should be independent from national politics, unfortunately they are tied up with state subsidies, and are gradually losing their uniqueness, with only the name ‘Catholic’ remaining, he told Catholic News Agency.

“Many priests, religious and the laity are completely losing their involvement with them,” Archbishop Kikuchi said.

Meanwhile, the Japanese Church has spent time in recent years on disaster relief projects, the archbishop said.

This included setting up volunteer centers in areas hit by an earthquake and Tsunami in 2011 that killed about 20,000 people. Their support activities still continue, he said.

“These activities may not lead immediately to the reception of baptism, but there is hope that many people who were touched by the spirit of the Gospel would actually be led to the Church.”

Another evangelization tool, the archbishop said are Catholics from abroad settling in Japan.

“Those who have settled in marriage and built their homes in rural areas make it possible for the Gospel to be brought in areas where the Church had never had an opportunity to get involved,” Archbishop Kikuchi said.

Many of the immigrants are from the Philippines who make up the fourth largest foreign community in Japan and are estimated to be about 250,000 strong.

They form a large proportion of Japan’s laity, are regular churchgoers and interact with religious communities in both rural and urban areas.

An important task is for the clergy to encourage foreign nationals in Japan to become aware of their missionary vocation as Catholics, the archbishop said.

“Pastoral care for foreign nationals … is not merely a service to welcome [guests], but rather a duty to make them aware of their vocation as missionaries,” he said.

Catholicism in the East Asian country will receive a boost from the pope’s visit later this month.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version