Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Features (Bahasa) Banjir menambah masalah penduduk Phnom Penh

Banjir menambah masalah penduduk Phnom Penh

Jalan lebar di Por Senchey, sebuah distrik di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, tergenang air. Saat orang-orang berjalan, air cokelat mencapai lutut mereka, penduduk setempat lainnya duduk di perahu yang bergerak dari satu sisi jalan ke sisi lain. Yang lain menggunakan traktor sebagai transportasi, tidak seperti biasanya naik sepeda motor dan tuk-tuk.

Pat Reaksa, 41, sedang jalan kaki dalam perjalanan pulang dari pasar. Ia mengaduk-aduk air yang kotor dan bau karena sampah yang mengapung di dalamnya. Reaksa mengatakan sebagian rumahnya terkena banjir lima hari sebelumnya, tetapi dia masih tinggal di sana bersama keluarganya, termasuk putrinya yang berusia 4 tahun.

“Lantai dasar tertutup banjir. Kami mematikan semua perangkat kami di lantai dasar, karena berbahaya untuk digunakan saat penuh air. Kami khawatir tersengat arus listrik, “katanya.




Kamboja telah mengalami hujan lebat dan banjir sejak awal Oktober dan sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 25 orang dan mempengaruhi ebih dari 240.000 orang, menurut media lokal.

Di Phnom Penh beberapa distrik telah dilanda banjir, termasuk Po Senchey, Meanchey, Sen Sok dan Dangkor. Permukaan air di sungai Tonlé Sap, Bassac dan Mekong telah meningkat secara signifikan.

Reaksa mengatakan, jalan dekat rumahnya tidak biasa dilanda banjir. Ketika air muncul lebih awal minggu lalu, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Dia membawa anaknya ke lantai atas dan menunggu suaminya, seorang pekerja konstruksi, pulang ke rumah.

“Kami mengalami beberapa kerusakan. Furnitur kami di lantai bawah misalnya terlalu berat untuk saya keluarkan dari air, ”katanya.

- Newsletter -

Di dekatnya Kruy Davy, seorang ibu berusia 28 tahun dengan dua anak, harus meninggalkan rumahnya sepenuhnya dan sekarang tinggal bersama kakaknya.

Air di rumahnya naik menjadi setengah meter, kata Davy kepada LiCAS.news. “Airnya hitam dan bau sekali. Saya khawatir dengan penyakit yang datang bersama banjir, ”katanya. “Anak perempuan saya berusia tiga tahun, putra saya empat tahun. Saya khawatir mereka akan terkena demam berdarah atau penyakit kulit.”

Warga yang dievakuasi di distrik Dangkor, Phnom Penh pindah ke pagoda pada 15 Oktober (Foto oleh Ate Hoekstra)

Penduduk lainnya di Por Senchey terkena dampak banjir dengan cara yang berbeda.

Sebuah toko tata rambut yang milik Al Sangha yang berusia 34 tahun sekarang hanya dapat diakses oleh mereka yang berani berjalan melalui air setinggi lutut.

“Biasanya saya memiliki antara 30 dan 40 pelanggan per hari,” katanya sambil duduk di sofa mengawasi jalan yang banjir. “Namun dalam beberapa hari terakhir, hanya sedikit pelanggan yang datang. Jika banjir ini tidak segera hilang, kita akan berada dalam masalah keuangan yang serius.”

Memberikan bantuan

Badan bantuan dan pemerintah telah memberikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak banjir di negara tersebut. Badan sosial gereja, Caritas Cambodia, saat ini sedang meninjau bagaimana mereka dapat membantu jangka panjang bagi mereka yang terkena dampak banjir.

“Banyak organisasi sudah memberikan bantuan darurat, jadi kami dapat melakukan berbagai hal,” kata Houn Kosal, koordinator proyek Caritas di Battambang. “Kami sekarang memetakan daerah bencana dan mengumpulkan informasi tentang kerusakannya. Kalau korban belum mendapat bantuan kami akan berikan, ”ujarnya.

Di distrik Dangkor selatan Phnom Penh, otoritas perlu mengevakuasi warga ke tempat yang lebih tinggi, termasuk Mao Chhorn yang berusia 40 tahun dan keluarganya. Chhorn mengatakan kepada LiCAS.news melalui telepon bahwa air di rumahnya setinggi satu meter ketika dia pergi.

“Banjir muncul Selasa lalu. Saya hanya berhasil mengamankan beberapa perlengkapan rumah tangga. Hal-hal lain terpaksa saya tinggalkan di dalam air. Mereka pasti rusak, ”ujarnya.

Banjir di distrik Senchey Por Phnom Penh pada 17 Oktober (Foto oleh Ate Hoekstra)

Chhorn, seorang sopir taksi, mengatakan satu hektar sawahnya rusak akibat banjir. “Buah-buahan dan sayuran yang saya dan keluarga tanam telah hancur,” katanya.

Bersama dengan banyak tetangganya, Chhorn sekarang tinggal di kuil Buddha yang dibangun di tempat yang lebih tinggi. Dia mengatakan tempat itu sangat ramai dan sulit untuk menemukan ruang pribadi untuk keluarganya atau untuk menemukan kamar mandi yang layak.

“Beberapa anak sekarang mulai sakit, ada yang demam tinggi,” ujarnya khawatir. “Dan kami tidak bisa pergi ke mana-mana, karena banjir menutupi semua jalan. Kami tidak bisa mengendarai sepeda untuk membeli makanan, kami tidak bisa pergi ke rumah sakit untuk berobat.”

Keluarganya memang menerima bantuan dalam seminggu terakhir, kata Chhorn. Delegasi Palang Merah datang untuk menemuinya dan korban lainnya. Mereka juga menerima sumbangan pribadi, terutama makanan berupa nasi, mie, dan kecap ikan.

Kembali ke Por Senchey Kruy, Davy memikirkan rumahnya yang dia beli empat tahun lalu. Baginya dan banyak orang lainnya, banjir ini tidak terduga.

“Saya tidak tahu kapan airnya akan surut, tapi saya yakin ubin di lantai dasar saya akan hancur dan lemari es, mesin cuci, dan furnitur saya akan rusak,” katanya.

“Itu semua membutuhkan biaya, sementara kita sudah berada dalam krisis ekonomi. Dan saya tahu bahwa keluarga saya tidak akan mendapatkan bantuan apa pun. Kami harus melakukan semuanya sendiri. ”

* Laporan tambahan oleh Ate Hoekstra.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version