Pada tanggal 10 Agustus 2012, seorang ibu yang tidak berdaya berjuang mempertahankan hidupnya di Dataran Tinggi Papua Nugini. Wanita itu, Christina, dikelilingi oleh ratusan penduduk desa. Beberapa pria mengikatnya dan menyalakan tumpukan kayu. Dituduh sebagai tukang sihir, ia disiksa dengan besi panas. Kejadian itu seperti adegan yang terjadi 500 tahun lalu.
Di tengah teriakan dan sorak-sorai, seorang wanita dengan berani berdiri di hadapan massa. “Hentikan kegilaan ini, lepaskan wanita itu!” teriak wanita misionaris kelahiran Swiss, Suster Gaudentia Meier.
Biarawati tua itu bergegas ke balai desa untuk mencoba menghentikan apa yang terjadi, tetapi dipukuli oleh anggota gerombolan itu.
“Keluar, kalau tidak kami akan membakar kamu juga sebagai penyihir,” teriak mereka pada biarawati yang telah bekerja sebagai perawat dan bidan di Keuskupan Mendi selama hampir 50 tahun.
Massa telah menjadikan Christina sebagai kambing hitam, dan dalam keputusasaannya, wanita itu membuat sebuah tipuan dengan mengambil batu dan meniru kelahiran penyihir. Batu itu berlumuran lumpur dan darah dan orang-orang menganggapnya sebagai roh jahat dalam dirinya. Mereka akhirnya melepaskannya.
Suster Gaudentia membawa Christina ke rumah sakit dan, bersama dengan umat Katolik lainnya, termasuk suster kelahiran Swiss lainnya, Suster Lorena Jenal, membantu wanita itu.
Suster Lorena mengatakan bahwa Christina, yang memiliki seorang putra, sekarang baik-baik saja. Tetapi orang-orang yang menyerang Christina masih buron dan dia masih mengkhawatirkan nyawanya. “Saya ingin hidup damai dan menginginkan keadilan, kalau tidak, saya tidak akan pernah menemukan kedamaian,” kata Christina.
Delapan tahun kemudian, tuduhan terkait sihir serta kekerasan terkait terus berlanjut di Papua Nugini.
Pada Minggu Paskah, tahun ini, tiga wanita tak berdosa dibakar dan disiksa karena dituduh melakukan sihir di Dataran Tinggi selatan Papua Nugini saat umat Katolik setempat menghadiri Misa.
“Kita tidak boleh mengabaikan ironi yang mengerikan ini,” tulis Suster Lorena, seorang anggota Suster Fransiskan Penyelenggaraan Ilahi dari Baldegg.
Selama Pekan Suci, para wanita tersebut dituduh melakukan sihir (secara lokal disebut ‘sanguma’) dan menyebabkan kematian seorang pria lanjut usia yang meninggal karena kombinasi asma dan gagal ginjal.
Suster Lorena mengatakan Magdalena, yang tertua dari tiga wanit itua, meninggal pada 11 Oktober karena luka-luka akibat penyiksaan, termasuk penyiksaan seksual.
“Upacara pemakaman [untuknya] bukan hanya pelayanan, tapi menjadi seruan untuk keadilan bagi Magdalena, agar sesuatu seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi, ”kata Suster Lorena.
Biarawati itu mengatakan bahwa tim dan paroki melakukan yang terbaik untuk memberi tahu para pemimpin setempat, para pendeta dari berbagai denominasi dan pejabat pengadilan untuk memahami bahwa Magdalena tidak bersalah dan bagaimana dia meninggal karena disiksa.
“Hasilnya adalah janji bahwa di paroki kami ini tidak akan boleh terjadi lagi,” kata Suster Lorena.
“Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang terlibat dalam penyiksaan datang menemui saya minggu lalu dan meminta bantuan,” tambahnya. “Dia tidak menyadari apa yang telah dia lakukan dan membutuhkan bantuan agari bisa membantu orang lain di kemudian hari untuk menghentikan kejahatan irasional karena dia dan semua orang dilahirkan dari seorang ibu dan dirawat oleh seorang ibu.”
Uskup Donald Lippert dari Mendi di provinsi Dataran Tinggi Selatan mengatakan kepada CNA bahwa kekerasan semacam ini terjadi terus menerus.
“Gereja Katolik dan iman Katolik adalah jawaban atas kegelapan ini. Membawa orang ke dalam hubungan dengan Yesus dan mengajarkan martabat pribadi manusia adalah cara terbaik untuk mengubah sikap orang dan juga mengubah perilaku mereka, “katanya.
Suster Lorena mengatakan bahwa di daerah Pangia di dataran tinggi, dua wanita juga disiksa dan dibunuh pada bulan Juni. “Kasus baru terjadi di Kirene. Saya pergi ke Kip bersama korban yang saya merawatnya selama hampir dua minggu dan itu tidak diterima dengan baik, ”katanya.
Pada pertengahan Juli, seorang siswa sekolah meninggal secara mendadak di sebuah desa di kawasan pastoral Karinj Atas yang mengakibatkan tiga orang perempuan dituduh melakukan sihir terhadapnya.
Segera tim dari Keuskupan Mendi bergegas ke desa itu, yang terdiri dari Pastor Alex Remba (pastor paroki wilayah itu), Pastor Robert Gigmai (pastoral pastoral), Suster Lorena, Winnie William (manajer kesehatan keuskupan), Roderick Irepo (koordinator pengembangan keuskupan), Daniel Beli (Sekretaris pendidikan Katolik).
Tim menemukan sekelompok orang yang telah menyiapkan pelat logam panas yang akan mereka gunakan untuk membakar ketiga wanita yang dituduh. Orang-orang itu dikejutkan dengan kedatangan tim dari keuskupan yang berusaha menentang rencana mereka.
“Dalam situasi ini, seringkali ada tiga kelompok orang,” kata Uskup Lippert. “Para pemimpin yang memberi hukuman atas apa yang terjadi dan tetap berada di belakang,” katanya.
“Kemudian, kelompok yang benar-benar melakukan penyiksaan dan pembunuhan, yang biasanya anak-anak muda dan sering terlibat dengan penyalahgunaan narkoba.”
“Terakhir, orang-orang di sana yang menonton yang dengan kehadiran mereka memberikan dukungan secara diam-diam terhadap apa yang terjadi, terkadang karena takut.”
“Anggota tim kami tidak segan-segan menghadapi mereka yang tampak sedang mempertontonkan kekerasan ini. Para pria muda mengeluarkan kata-kata ancaman kepada anggota tim yang tidak menunjukkan rasa takut dan menjawab semua keberatan ini dari perspektif iman Katolik.”
Pada satu titik, salah satu pemuda mengatakan bahwa ini adalah masalah ‘spiritual’ yang menyebabkan salah satu imam – Pastor Robert – mengatakan bahwa masalah spiritual harus ditangani di gereja.
Menurut para saksi, Pastor Robert mampu membuat mereka mengerti bahwa apa yang mereka rencanakan adalah pekerjaan iblis.
Setelah pertengkaran yang panjang dan panas, para pemimpin gerombolan itu mundur, dan sikap para pemimpin itu mulai bergeser dari suka berperang menjadi malu dan akhirnya para wanita itu diselamatkan. Sejak saat itu beberapa anggota tim menindaklanjuti untuk memastikan bahwa perempuan akan tetap aman untuk jangka panjang.
Masalah kekerasan akibat tuduhan sihir masih berlanjuta di Papua Nugini dan itu menjadi suatu tantangan bagi Gereja, tantagan bagi orang-orang yang berkehendak baik.
Uskup Lippert bersama dengan Uskup Agung Anton Bal, Uskup Arnold Orawae, dan uskup lainnya telah terlibat dalam menangani masalah tersebut. Anton Lutz, seorang misionaris awam Lutheran, serta kelompok Senism Pasin juga sangat aktif menyikapi hal itu.
Tangga 10 Agustus tahun ini adalah hari internasional pertama menentang kekerasan tuduhan sihir (SAV). Hari itu diumumkan oleh Missio, badan misi dari para uskup Katolik Jerman.
“Hari internasional ini menyoroti gelombang baru pelanggaran hak asasi manusia di lebih dari 30 negara. Sudah terlalu lama, orang telah mengabaikan dan tetap diam tentang fakta bahwa kepercayaan sia-sia misantropis digunakan untuk menyalahkan perempuan, anak-anak dan pria sebagai kambing hitam atas masalah sosial ”, kata Pastor Dirk Bingener, presiden Missio di Aachen, Jerman.
Artikel ini adalah saduran dari Church Alive, publikasi Konferensi Waligereja Papua Nugini & Solomon Islands.