Penaganan global terhadap pandemi virus corona dinodai oleh “oportunisme” dan “pelanggaran terhadap hak asasi manusia” oleh banyak pemimpin global, yang mengakibatkan kegagalan.
Hal tersebut disampaikan oleh kelompok hak asasi manusia Amnesty International dalam laporan tahunannya yang dirilis minggu ini.
“Kami telah melihat spektrum tanggapan para pemimpin kita; dari yang biasa-biasa saja hingga berdusta, egois dan penyalahgunaan,” kata laporan itu.
Agnès Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, mengatakan bahwa beberapa pemimpin yang “sangat ganas” bahkan menggunakan pandemi sebagai kesempatan untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri.”
“Bukannya mendukung dan melindungi orang, mereka hanya memperalat pandemi untuk mendatangkan malapetaka pada hak-hak orang,” kata Callamard.
Ia mengutip Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang memerintahkan polisi untuk menembak mati warga yang memprotes atau mungkin menyebabkan masalah selama masa karantina.
Laporan Amnesty International itu mencatat bahwa beberapa pemimpin juga menggunakan pandemi untuk menekan kritik, bahkan yang tidak terkait dengan virus, dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Laporan itu mengutip Narendra Modi dari India yang menindak aktivis masyarakat sipil, bahkan melakukan penggeledahan kontra-terorisme di rumah-rumah.
Presiden China Xi Jinping melanjutkan penganiayaannya terhadap warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang dan menerapkan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong untuk melegitimasi penindasan bermotif politik.
Di Bahrain, Kuwait, Oman, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai asalan untuk terus menekan kebebasan berekspresi.
Beberapa orang yang memposting komentar di media sosial tentang tanggapan pemerintah terhadap pandemi dituntut karena diduga menyebarkan “berita palsu”.
Callamard mengatakan lembaga internasional seperti Pengadilan Kriminal Internasional dan mekanisme hak asasi manusia PBB “telah bergulat dengan kebuntuan politik para pemimpin yang berusaha untuk mengeksploitasi dan merusak tanggapan kolektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia.”
Sektor pinggiran sangat terpukul
Laporan tersebut mencatat bahwa mereka yang paling terpinggirkan, termasuk perempuan dan pengungsi, menanggung “beban berat yang diakibatkan oleh pandemi” sebagai akibat dari keputusan kebijakan yang diskriminatif yang berlangsung selama puluhan tahun.
Pekerja kesehatan, pekerja migran, dan mereka yang berada di sektor informal, juga telah menjadi korban sistem kesehatan yang terabaikan, kata Amnesty International.
“COVID-19 telah secara brutal mengekspos dan memperdalam ketidaksetaraan, baik di dalam maupun antar negara, dan menyoroti pengabaian oleh para pemimpin kita untuk kemanusiaan kita bersama,” kata Callamard.
Ia mengatakan puluhan tahun kebijakan yang memecah belah, langkah-langkah penghematan yang salah arah, dan pilihan para pemimpin untuk tidak berinvestasi pada infrastruktur publik yang hancur, telah menyebabkan banyak orang menjadi mangsa yang sangat mudah bagi virus ini.
“Kita menghadapi dunia yang berantakan,” tambah sekretaris jenderal baru Amnesty International itu.
“Pada titik ini, bahkan para pemimpin akan berjuang untuk menyangkal bahwa sistem sosial, ekonomi dan politik kita rusak,” katanya.
Laporan itu juga mencatat bahwa mereka yang berada di garis depan pandemi – seperti pekerja kesehatan, dan mereka yang bekerja di sektor informal – sangat menderita akibat sistem kesehatan yang sengaja diabaikan serta tindakan perlindungan sosial yang menyedihkan.
Di Bangladesh, banyak pekerja di sektor informal dibiarkan tanpa mendapat penghasilan atau perlindungan sosial karena pemberlakuan lockdown dan jam malam.
“Kita menuai hasil dari pengabaian secara sengaja selama bertahun-tahun oleh para pemimpin kita,” kata Callamard. “Sangat kejam, mereka yang memberi paling banyak, tapi tidak dilindungi,” tambahnya.