Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Tantangan menjadi komunikator sosial Gereja

Tantangan menjadi komunikator sosial Gereja

Ketika saya masih menjadi mahasiswa, program magang menjadi salah satu momen paling berkesan.Untuk tahap kedua pelatihan saya, saya dikirim ke kantor media keuskupan untuk melakukan semacam pekerjaan hubungan masyarakat.

Tugas saya termasuk menyalakan lampu di kantor satu jam sebelum atasan tiba. Saya mengambil tumpukan koran di lobi,  mengecek halaman demi halaman untuk melihat apakah ada artikel yang menyebutkan keuskupan atau uskup. Saat mentonton TV pun saya melakukan hal yang sama.

Istilah “pelayanan komunikasi sosial” masih terdengar asing bagi saya. Keuskupan menamai tempat penugasan saya sebagai Kantor Komunikasi Keuskupan Agung, atau hanya ‘kantor media’.




Gereja Katolik memperingati Hari Komunikasi Sedunia pada 16 Mei. Hari itu dibentuk oleh Paus Paulus VI pada tahun 1967 sebagai perayaan tahunan untuk mendorong setiap orang merenungkan peluang dan tantangan yang diberikan oleh sarana komunikasi sosial modern kepada Gereja untuk mengkomunikasikan pesan Injil.

Sejak saya terlibat dalam komunikasi, saya membiasakan diri untuk mengecek berita di pagi hari, kemudian email saya. Bulan lalu, saya dikejutkan oleh seorang kolega yang mengirimi saya tautan ke “tembok kebebasan” di mana para pekerja gereja, termasuk mereka yang terlibat dalam komunikasi, mengungkapkan sentimen mereka secara anonim.

Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana pelayanan komunikasi sosial membanding-bandingkan peralatan dan pengetahuan teknis mereka. Saya tahu apa yang dirasakan para relawan selama “peliputan” atau saat melakukan “produksi”. Tapi yang lebih mengkhawatirkan saya adalah bagaimana mereka mencoba memajukan strategi komunikasi.

Kisah tentang Maria dan Marta tiba-tiba muncul dalam benak saya.

Seperti yang disapaikan penulis Injil kepada kita, Yesus datang mengunjungi teman-temannya Marta dan Maria. Maria lebih suka mendengarkan semua yang dikatakan Yesus, sementara Marta disibukkan oleh semua persiapan yang harus dilakukan.

- Newsletter -

Namun Yesus mengatakan kepada Marta: “Engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”

Yesus di rumah Marta dan Maria – Lukisan dari koleksi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru terbitan tahun 1885, Stuttgart-Jerman. Lukisan oleh Gustave Dore (via shutterstock.com)

Cerita ini mungkin tidak selaras secara liturgi dengan perayaan hari komunikasi, tetapi narasi Maria dan Marta adalah cerita yang harus direnungkan oleh setiap orang dalam pelayanan komunikasi sosial. Keduanya tidak diragukan lagi sangat gembira ketika bertemu Tuhan. Mereka telah melakukan bagian mereka dalam bertemu dengan Yesus, tetapi hanya satu yang mendapat persetujuan Tuhan.

Dalam diri Maria, kita menemukan kesederhanaan seorang hamba yang fokus mendengarkan Tuannya. Pada Marta, kita menemukan orang yang lebih suka mengerjakan segala sesuatu untuk menyajikan dan mengakomodasi pengunjung. Yesus tampaknya lebih menyukai perilaku Maria.

Dalam konteks kerasulan komunikasi, “Maria” dapat merujuk pada tim yang berfokus pada “satu-satunya yang dibutuhkan”, yaitu pewartaan Injil. “Marta” bisa merujuk pada orang yang obsesif dalam menaruh perhatian mereka pada “sarana” daripada “tujuan komunikasi.”

Ini bukan untuk mengatakan bahwa kita tidak mengerjakan aspek teknis komunikasi, terutama pada saat sekarang ketika kita sangat membutuhkannya.

Faktanya, pengunjung gereja menginginkan peralatan yang lebih baik untuk mendengarkan Misa. Sebuah survei yang dilakukan oleh Radio Veritas 846 menemukan bahwa 27 persen responden mengatakan sound system yang baik harus menjadi prioritas gereja.

Namun apa yang saya kemukakan adalah “cara berkomunikasi yang digerakkan oleh tujuan”. Mengerahkan semua energi kita untuk peningkatan teknologi produksi saja akan membuat upaya kita tidak berharga. Mendiang Pastor Franz Josef-Eilers, SVD mencatat bahwa pelayanan ini “melampaui teknologi dan media sebagai instrumen.”

Dua bulan lalu, saya diundang menjadi bagian dari tim pembina yang melatih relawan paroki di Keuskupan Kalookan, Filipina. Pada sesi produksi video, seorang pelatih wanita bertanya kepada peserta tentang alasan di balik produksi acara online. “Jika Anda melakukan itu hanya untuk mengikuti arus, maka Anda berkontribusi pada arus kebisingan,” katanya.

Yang menjadi poin renungan adalah: “Apa yang akan Kristus lakukan dengan menggunakan media komunikasi yang kita miliki?” Di wilayah di mana tim komunikasi sosial aktif, beberapa pelayanan fokus pada “siaran langsung” Misa, sementara mengesampingkan masalah keadilan sosial, opsi bagi orang miskin, ketahanan pangan dan darurat iklim.

Marilah kita mengingat jemaat Kristen perdana yang tidak memiliki komputer, kamera, dll, tetapi mampu mengkomunikasikan Injil secara efektif. Mereka didirikan di atas satu tujuan – penginjilan. Tanpa itu, semua usaha mereka akan sia-sia.

Dalam pesannya untuk Hari Komunikasi Sedunia tahun ini, Paus Fransiskus menggarisbawahi kata-kata pertama Yesus kepada murid-muridNya, “Datang dan Lihatlah.” Di sini Dia memberikan ide sentral untuk bertemu orang-orang di pinggiran untuk membuat komunikasi menjadi lebih berharga.

“Tantangan yang menanti kita adalah berkomunikasi dengan bertemu orang, di mana mereka berada dan apa adanya,” katanya.
Karya para komunikator sosial gereja patut dipuji, tetapi akan bijaksana untuk bertanya pada diri sendiri mengapa kita berkomunikasi dan untuk apa kita melakukan ini? Siapakah model komunikasi kita – Marta atau Maria?

Adrian Banguis-Tambuyat adalah seorang praktisi komunikasi khususnya pada strategi konten online dan jurnalisme siaran. Minatnya difokuskan pada keadilan sosial, pembinaan kaum muda, teologi komunikasi, dan evangelisasi media massa.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version