Ketidakpedulian dan janji-janji pemerintah yang tidak ditepati menciptakan peluang sempurna bagi perekrutan teroris di Marawi, sebuah kota di Filipina selatan yang hancur oleh perang selama lima bulan pada 2017.
“Kami sama sekali tidak diperhatikan,” kata para anggota Marawi Reconstruction Conflict Watch (MRCW), kelompok pemantauan swasta, yang terdiri dari warga yang melacak upaya rehabilitasi pemerintah.
Bertentangan dengan gambaran indah pemerintah Filipina tentang program rekonstruksi yang berjalan cepat di kota itu, hampir setengah dari dana rehabilitasi US $ 197 juta tetap tidak terpakai, dan tinggal sebulan sebelum bendahara nasional mengambilnya kembali.
Ribuan keluarga tetap mengungsi. Hanya ada sedikit kepedulian dalam RUU kompensasi di Kongres yang akan memungkinkan para penghuni di kota yang dahulunya pusat komersial itu untuk mendapatkan kembali mata pencaharian mereka.
Tetapi langkah rekonstruksi yang merana itulah yang menyebabkan perasaan teralienasi dan memberi peluang bagi kelompok teroris untuk menjadikannya ladang rekrutmen.
“Kami sekarang diberi tahu bahwa kesalahan dilemparkan pada warga Marawi atas serangan [pejuang ISIS) pada 2017, atau bahwa kami tidak layak mendapatkan bantuan keuangan karena kami dianggap kaya,” kata kelompok itu dalam sebuah pertemuan dengan wartawan minggu lalu.
“Tampak jelas bagi kami bahwa kami sama sekali tidak penting,” kata mereka.
Ruang bernafas
Bahwa MRCW turut berbicara seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah.
Sejak diluncurkan pada tahun 2018, kelompok pemantau itu telah berusaha untuk bekerja secara diam-diam dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah, karena tidak mau terseret ke dalam pergolakan politik.
MRCW, yang bekerja dengan organisasi International Alert-Philippines dalam program baru untuk intervensi awal dalam konflik, beroperasi di bawah radar media untuk memberikan ruang bernafas kepada pemerintah setelah perang.
Organisasi itu dibentuk “bukan untuk mengecam atau mencela, tetapi untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul dari proses rehabilitasi dan melobi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang tidak akan memicu kemarahan dan frustrasi lebih lanjut dari masyarakat,” kata Saripada Pacasum Jr., seorang sukarelawan “helm putih” yang menyelamatkan warga yang terjebak dalam baku tembak.
Darurat militer, yang diberlakukan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada 23 Mei 2017, hari pertama perang, telah memberi kesempatan bagi penduduk untuk berhenti sejenak dari berbagai konflik sosial, termasuk perselisihan keluarga yang bisa meningkat menjadi pertempuran besar.
Tetapi pemerintahan yang terpusat dan pola pikir militer telah mengesampingkan pejabat dan penduduk setempat, tidak memberikan suara dalam pengambilan keputusan.
Jalila Hadji Sapiin, 28, perwakilan sektor kaum muda di MRCW, mengatakan dimasukkannya pemerintah daerah dalam Satuan Tugas Bangon Marawi, sangat bersifat simbolis.
“Pengamatan dan saran mereka sebagian besar diabaikan,” katanya, mengutip percakapan dengan pejabat lokal.
Petaka
Kesabaran kelompok itu hilang setelah sidang kongres tentang rekonstruksi Marawi mengalami penundaan.
Temuan tentang bagaimana pemerintah nasional memandang Marawi ibarat belati yang mencanpa ke usus, kata Pacasum yang menggambarkan bagaimana penduduk telah mengatur untuk menanggapi laporan awal infiltrasi oleh kelompok-kelompok ekstremis.
“Tidak ada yang menginginkan ada tragedi Marawi lain. Saya sudah melihat terlalu anak-anak dan ibu-ibu yang meninggal,” kata Pacasum, yang kemudian menangis saat konferensi pers.
Fedelinda Tawagon, presiden Dansalan College Foundation, yang sepenuhnya dihancurkan oleh serangan udara pemerintah, mengatakan sektor swasta harus dimasukkan dalam paket kompensasi pemerintah untuk para korban.
“Sekolah dan rumah sakit swasta melayani sebagian besar populasi Marawi, yang dikenal dengan keistimewaan yang diberikannya untuk pendidikan,” kata Tawagon.
Terpal-terpal yang bertuliskan perayaan tamat dan kelulusan ujian tergantung di hampir setiap rumah, yang menunjukkan lebih banyak perempuan Marawi menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di daerah otonom Bangsamoro.
“Sekolah swasta telah kehilangan kesempatan untuk menyediakan layanan,” kata Tawagon. Universitas negeri di Marawi tidak dapat mengakomodasi semua orang. Di tempat lain, orang-orang muda Muslim berjuang dengan diskriminasi.
“Kami dari tanah ini. Mengapa kalian tidak mendengarkan kami?” kata pendidik yang kesal itu.
Sementara itu, Sapiin memperingatkan bahwa pencabutan hak kaum muda terhadap pendidikan menyediakan lahan subur bagi pandangan ekstremis.
Presiden tidak main-main
Di pusat kerusuhan baru adalah bahwa penduduk lagi mampu untuk masuk kembali ke “Ground Zero,” pusat komersial yang paling parah akibat pemboman udara.
Pembongkaran bangunan yang tersisa di zona perang, bahkan tanpa persetujuan pemilik, dan rencana pemerintah untuk melanjutkan pembangunan kamp militer baru masih dalam perselisihan.
MRCW juga menemukan bahwa minat untuk pengesahan RUU kompensasi sangat kecil, yang pemerintah anggap sebagai pengakuan pertanggungjawaban atas kehancuran.
Lebih buruk lagi, kelompok itu menemukan kebenaran yang menyakitkan: Presiden Duterte tidak bercanda pada saat dia menyalahkan penduduk Marawi atas kehancuran kota mereka.
Eduardo del Rosario, ketua lembaga yang ditugaskan untuk membangun kembali Marawi, mengatakan bulan lalu bahwa mereka yang mampu merekonstruksi bangunan yang hancur harus menanggung biayanya.
Di Kongres, para pemantau rekonstruksi mendapati pejabat pemerintah mengulang-ulang klaim presiden bahwa penduduk Marawi pantas menerima nasib mereka karena mereka telah mengizinkan kota itu menjadi pusat sindikat narkotika dan kelompok ekstremis.
“Yang kami dengar hanyalah generalisasi,” kata Pacasum. “Kami semua disamakan dengan gembong narkoba. Apakah ini karena kami Muslim, jadi kami tidak diperlakukan sama dengan bagian lain negara ini?”
MRCW mengatakan cara pandang pemerintah telah mendorong penduduk Marawi ke tembok. Ke mana pun mereka pergi, mereka melihat jalan buntu.
Sebelum berbicara dengan pers, Pacasum dan rekan-rekannya membahas konsekuensi potensial dari membuka suara atas masalah yang mereka hadapi. Mereka memprediksi akan dapat serangan. Mereka tahu kemarahan presiden bisa mematikan.
Tetapi alternatifnya tidak lebih baik, kata mereka. Jika Anda tidak membela hak-hak Anda, Anda juga mati.
Inday Espina-Varona adalah editor dan penulis opini untuk berbagai publikasi di Manila. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial LICAS News.