Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Gereja Filipina bertindak atas pelecehan seksual para imam

Gereja Filipina bertindak atas pelecehan seksual para imam

Ketika masih menjadi walikota Davao City di Mindanao, dan mengincar kemenangan pada pemilihan presiden Filipina pada Desember 2015, Rodrigo Duterte mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan saat kampanye.

Dia mengatakan kepada orang banyak bahwa dia pernah dilecehkan secara seksual oleh seorang imam Katolik ketika dia masih kecil dan belajar di sekolah yang dikelola Yesuit.

Hal itu adalah balasannya terhadap Gereja Katolik yang menanggapi dengan keras pernyataan yang ia sampaikan sebelumnya yang mengecam Paus Fransiskus karena menyebabkan kemacetan lalu lintas di Manila selama kunjungan pemimpin gereja itu pada Januari tahun itu.




Sebelum itu, pengungkapan pelecehan seksual terhadap putra-putra altar masih sangat sedikit, sebagian karena stigma yang melekat padanya. Jika ada, para korban lebih suka menyembunyikannya untuk diri mereka sendiri atau keluarga dekat mereka, karena takut akan pembalasan. Tetapi ketika mereka bertambah dewasa, banyak yang menjadi berani untuk menyatakannya secara terbuka dan bahkan menunjuk siapa saja yang telah melakukan kesalahan.

Jika Presiden Filipina saja telah maju untuk mengakui bahwa dia telah menderita pelecehan seksual oleh seorang imam di masa kecilnya, siapakah yang bisa menghentikan yang lainnya untuk keluar dari keadaan yang kurang istimewa itu dan  mengakui bahwa mereka juga telah menderita kejahatan mengerikan dan menuntut keadilan?

Paus Fransiskus telah terang-terangan menangani masalah yang telah sangat mengikis kredibilitas dan otoritas moral Gereja Katolik.

Dalam “Surat kepada Umat Allah” tertanggal 20 Agustus 2018, ia berkata: “Saya mengakui sekali lagi penderitaan yang dialami oleh banyak anak di bawah umur karena pelecehan seksual, penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan hati nurani yang dilakukan oleh sejumlah besar imam dan orang yang ditahbiskan.”

- Newsletter -

“Kejahatan yang menimbulkan luka mendalam karena rasa sakit dan ketidakberdayaan, terutama di antara para korban, dan juga di anggota keluarga mereka dan pada komunitas orang-orang percaya dan tidak percaya yang lebih luas,” kata paus.

Paus melanjutkan: “Melihat kembali ke masa lalu, tidak ada upaya untuk memaafkan dan upaya untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akan cukup. Melihat ke masa depan, segala upaya harus dilakukan untuk menciptakan budaya yang mampu mencegah situasi seperti itu terjadi, tetapi juga untuk mencegah kemungkinan mereka ditutup-tutupi dan diabadikan.

“Rasa sakit para korban dan keluarga mereka juga merupakan rasa sakit kita, dan karenanya sangat mendesak bahwa kita sekali lagi menegaskan kembali komitmen kita untuk memastikan perlindungan anak di bawah umur dan orang dewasa yang rentan.”

Warga memadati sejumlah ruas jalan di Manila ketika iring-iringan Paus Fransiskus tiba di MOA Arena saat kunjungan kepausan pada 16 Januari 2015. (shutterstock.com photo)

Lebih lanjut Paus Fransiskus mencatat: “Kita harus berkomitmen pada budaya peduli yang mengatakan ‘tidak boleh lagi’ terhadap setiap bentuk pelecehan. Tanpa partisipasi aktif semua anggota Gereja, segala sesuatu yang dilakukan untuk memberantas budaya pelecehan di komunitas kita tidak akan berhasil menghasilkan dinamika yang diperlukan untuk perubahan yang sehat dan realistis.“

“Penting bagi kita, bahwa kita sebagai Gereja, dapat mengakui dan mengutuk, dengan kesedihan dan rasa malu, kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang ditahbiskan, para imam, dan semua orang yang dipercayakan dengan misi untuk mengawasi dan merawat mereka yang paling rentan,” kata paus.

Desember lalu, Paus Fransiskus menghapus kerahasiaan kepausan dalam kasus-kasus kekerasan seksual dan pelecehan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh para anggota klerus.

Gereja sekarang dapat menyelidiki kasus-kasus kekerasan dan tindakan seksual yang dilakukan di bawah ancaman atau penyalahgunaan wewenang, kasus pelecehan seksual anak di bawah umur atau orang yang rentan, kasus-kasus pornografi anak, kasus-kasus tentang kurangnya pelaporan, dan menutup-nutupi pelaku kekerasan oleh para uskup dan superior jenderal tarekat religius.

Tidak diragukan lagi mengambil isyarat dari Vatikan, kelompok aksi sosial Gereja Katolik Filipina sedang meningkatkan upayanya sendiri untuk menanggulangi pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur oleh para imam di negara itu.

Umat Katolik berlutut dan berdoa di Katedral Our Lady of Peace and Good Voyage di Kota Antipolo, Filipina pada 29 Januari. (Foto oleh Shutterstock.com)

Pastor Edwin Gariguez, sekretaris eksekutif Caritas Philippines, atau dikenal sebagai Sekretariat Nasional untuk Aksi Sosial, Keadilan dan Perdamaian, mengatakan mereka akan melakukan “pemeriksaan latar belakang” secara proaktif terhadap semua direktur aksi sosial di tingkat nasional dan keuskupan.

Tujuannya, katanya, adalah untuk menentukan apakah seorang imam telah terlibat dalam kasus pelecehan, terutama anak-anak.

“Kami melakukan ini untuk menunjukkan bahwa kami tidak mentolerir kasus seperti ini. Jadi, jika ada kebutuhan bagi setiap keuskupan untuk mendapatkan pelatihan tentang masalah ini dan mekanisme pelaksanaannya, kami akan membuat dan menyediakannya,” kata imam itu.




Pelecehan oleh para klerus tidak boleh terjadi dalam batas-batas Gereja, “tetapi diakui atau tidak, dan meskipun kita jarang mengakuinya, itu sedang terjadi. Karena itu, kita harus memiliki mekanisme tentang bagaimana kasus seperti ini harus dilaporkan dan bagaimana mengatasi masalah ini, ”tambah Pastor Gariguez.

Pada bulan Juli 2019, Konferensi Waligereja Katolik Filipina sepakat untuk membuat divisi baru yang akan menyelidiki kasus-kasus pelecehan para klerus dan meningkatkan berbagai upaya di tingkat keuskupan.

Kami percaya Caritas Philippines berada di jalur yang benar dalam menyelidiki kasus-kasus pelecehan seksual oleh rohaniwan di Filipina.

Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur menyebabkan kebencian yang dibawa seumur hidup terhadap para imam yang menggunakan kekuasan dan pengaruh mereka untuk membujuk anak-anak yang rentan dan bahkan orang dewasa untuk tunduk pada tindakan seksual.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa kasus-kasus pelecehan seksual para imam telah menyebabkan banyak orang meninggalkan iman mereka dan mencari bimbingan spiritual di tempat lain.

Oleh karena itu, Paus Fransiskus layak mendapatkan pujian karena mengambil tindakan tegas dalam mengatasi masalah pelecehan seksual para imam yang telah menodai citra Gereja Katolik di seluruh dunia.

Memang benar -mengingat lingkup masalah ini di seluruh dunia- bahwa Gereja telah gagal melindungi anak-anak dan orang dewasa yang rentan yang dipercayakan kepada mereka. Tetapi menyelesaikan masalah ini membutuhkan, pertama-tama, pengakuan bahwa pelecehan itu ada, serta pemahaman bahwa itu menyebabkan kerusakan fisik, psikologis, dan spiritual bagi para korbannya, dan bahkan memengaruhi kehidupan seluruh komunitas.

Sekarang adalah saat yang tepat bagi Gereja Katolik untuk mendapatkan kembali otoritas moralnya dan memberikan keadilan kepada semua orang yang mungkin telah menjadi korban para imam yang tidak setia.

Ernesto M. Hilario menulis seputar masalah keadilan politik dan sosial untuk berbagai publikasi di Filipina. Pandangan dan pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi LiCAS. news.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version