Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Kardinal Bo: Perubahan fungsi Hagia Sophia membuka kembali luka lama

Kardinal Bo: Perubahan fungsi Hagia Sophia membuka kembali luka lama

Kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah hak asasi manusia yang mendasar bagi setiap orang, dari agama apapun. Hak untuk memilih, menjalankan, mengekspresikan dan mengubah keyakinan seseorang – atau tidak memiliki keyakinan sama sekali – adalah kebebasan paling dasar untuk siapaun.

Itu adalah kebebasan yang saya perjuangkan secara konsisten dan penuh semangat bagi umat Islam, Budha, Hindu, Yahudi, dan Kristen dari semua tradisi, di negara saya di Myanmar dan di seluruh Asia.

Saya memang sering berbicara membela orang-orang Muslim yang dianiaya di Myanmar, dan saya akan terus melakukannya tanpa ragu-ragu dan tegas. Kebebasan beragama yang sejati membutuhkan penghormatan terhadap pelaksanaan kebebasan orang lain, serta pelaksanaan dan perlindungan atas kebebasan seseorang.




Karena alasan itu, keputusan pemerintah Turki untuk mengubah apa yang selama 1.000 tahun menjadi katedral terbesar di dunia – Hagia Sophia – menjadi masjid membuat saya sedih. Dan sebagai presiden Federasi Konferensi Waligereja Asia adalah kewajiban saya untuk mengatakan hal ini.

Hal itu membuat saya sedih bukan karena saya ingin menolak saudara-saudari Muslim untuk beribadah. Sebaliknya, saya membela hak mereka sama seperti saya membela semua orang. Tidak boleh ada dari apa yang saya katakan sini dipakai oleh mereka yang menganiaya umat Islam – di Myanmar atau di luar – sebagai pembenaran atas tindakan mereka, tidak bisa. Penganiayaan dalam bentuk apa pun harus dilawan oleh orang-orang beriman, yang memiliki harapan dan cinta dan oleh semua manusia. Keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi masjid juga tidak bisa dilihat sebagai hal lain selain serangan yang tidak perlu terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Iman adalah urusan jiwa, hati, pikiran dan roh. Mesbah iman ada di dalam orang, bukan bangunan. Namun demikian, bangunan suci mewakili dan mewujudkan sejarah, warisan, seni, ikonografi, dan kisah hidup para pemeluk agama di seluruh milenia. Akan tetapi, ketika mereka diruntuhkan, mereka dapat digunakan sebagai simbol kekuasaan dan penaklukan.

Di negara saya, Myanmar, masjid-masjid telah dihancurkan dan saya sering menentangnya, dengan penuh risiko. Di Tiongkok, Muslim Uyghur menghadapi sejumlah kekejaman terburuk di dunia saat ini dan saya mendesak komunitas internasional untuk menyelidikinya. Di India dan Sri Lanka, umat Islam menghadapi kekerasan yang mengerikan dan saya mengutuk tindakan tidak manusiawi tersebut.

Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon. (Foto milik Radio Veritas Asia)
- Newsletter -

Sama halnya dengan di Indonesia, masjid-masjid milik Muslim Ahmadiyah telah dihancurkan oleh Muslim lainnya, dan gereja-gereja ditutup secara paksa. Di Iran, orang-orang Baha menghadapi serangan hebat atas kebebasan beragama mereka. Di Suriah dan Irak tempat-tempat suci dihancurkan secara membabibuta. Dan sayangnya, kita telah melihat fenomena yang sama di Tiongkok di mana tempat-tempat suci dihancurkan, Salib disingkirkan dari tempat-tempat ibadah, dan bahkan gereja-gereja, seperti Gereja Xiangbaishu di Yixing, dihancurkan. 
Mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah masjid juga menjadi contoh perusakan atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, atas cinta satu sama lain, serta rasa hormat terhadap martabat perbedaan.

Pada saat umat manusia mengalami tantangan berat pandemi global, kita perlu bersatu, bukannya memisahkan komunitas. Kita perlu mengesampingkan politik identitas, meninggalkan permainan kekuasaan, mencegah konflik etnis dan agama dan menghargai perbedaan di antara setiap manusia. Dan kita harus menghargai keanekaragaman dan kesatuan yang kita temukan di dalamnya.

Apakah yang diharapkan dari mengubah apa yang dulunya katedral terbesar di dunia menjadi masjid selain menabur ketegangan, memecah belah orang dan menimbulkan rasa sakit? Apakah menempatkan Hagia Sophia di tangan orang-orang yang tidak mengerti sejarah dan warisannya dan yang akan menghancurkan identitas Kristennya membantu menyatukan orang-orang? Apakah merebut Hagia Sophia menegakkan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia? Tidak. Itu hanya membuka kembali luka lama dan memperburuk perpecahan pada saat kita harus menyembuhkan umat manusia.

Saya bekerja dengan saudara dan saudari saya dari setiap tradisi agama besar setiap hari dalam hidup saya. Dan saya akan pergi ke ujung bumi untuk membela hak-hak mereka. Saya akan membela setiap masjid, setiap sinagoga, setiap kuil. Dan saya tahu bahwa sesama pemimpin agama yang bekerja untuk perdamaian akan melakukan hal yang sama untuk saya.

Itulah semangat yang kita butuhkan – untuk menghormati dan membela kebebasan beribadah satu sama lain sesuai keinginan kita, untuk mengekspresikan iman kita sesuai dengan tradisi kita, untuk bertobat secara bebas sesuai dengan hati nurani kita dan tidak pernah dipaksa, tidak pernah memaksakan dan tidak pernah merebut atau mengambil.

Dalam zaman sejarah sebelumnya kita tahu bahwa merebut bangunan dan situs suci satu sama  lain telah membawa kesusahan dan kepahitan yang tak terhingga dan pada generasi kita, kita seharusnya tidak sebodoh itu untuk mengulangi kesalahan sejarah.

Saling menghormati adalah kebajikan manusia dan alamiah.

Biarkan Hagia Sophia menjadi seperti apa adanya.

Charles Bo
Presiden Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC)
Uskup Agung Yangon, Myanmar

25 Juli 2020

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version