Pemimpin gereja Katolik Filipina mengecam pidato kenegaraan kelima Presiden Rodrigo Duterte yang tidak berhasil memberikan gambaran signifikan tentang kondisi kepemimpinannya.
Pidato presiden, yang berlangsung satu jam dan 46 menit, disampaikan pada 27 Juli di hadapan audiensi terbatas di DPR karena pembatasan pandemi virus corona.
Uskup Broderick Pabillo, administrator apostolik Keuskupan Agung Manila, menggambarkan pidato presiden sebagai pidato yang penuh dengan pernyataan memuji.
“Secara umum, pidatonya tidak memiliki rekam jejak untuk dipercaya. Juga diselingi dengan bahasa yang buruk,” kata prelatus itu.
Dalam lima menit pertama pidatonya, Duterte mengecam seorang senator oposisi dan keluarga Lopez, pemilik ABS-CBN, jaringan siaran yang ijin siarnya baru-baru ini ditolak oleh Kongres.
“Media adalah alat yang kuat di tangan oligarki seperti Lopez yang menggunakannya dalam melawan tokoh-tokoh politik,” katanya.
Presiden juga mengecam Pemimpin Minoritas Senat Franklin Drilon karena diduga membela keluarga Lopez.
Duterte mengacu pada pernyataan Drilon bahwa dinasti politik harus dilarang untuk benar-benar membongkar oligarki di negara tersebut.
Tidak ada yang signifikan
Suster Mary John Mananzan, OSB mengatakan dia tidak mendengar apa pun yang signifikan dalam pidato presiden, menambahkan bahwa pidado Duterte tidak membahas masalah-masalah mendesak.
Biarawati itu mengatakan pidato itu “tidak memberikan penilaian nyata” tentang bagaimana kinerja pemerintah dalam empat tahun terakhir sejak Duterte menjadi presiden.
“Bagaimana Anda bisa menjadi presiden tapi tidak memiliki cara objektif dalam memandang kenyataan? Itu selalu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri … apa yang dia suka dan tidak suka,” kata Suster Mananzan.
Biarawati itu mengatakan, Duterte seharusnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah saat ini, terutama pandemi virus corona dan krisis ekonomi yang membayangi negara itu akibat krisis kesehatan.
“Apa yang akan kita lakukan dengan pandemi ini? Dia tidak banyak bicara tentang itu, ”kata Ssster Mananzan.
Dia mengecam presiden karena mendesak diberlakukannya undang-undang yang memungkinkan penerapan kembali hukuman mati di negara itu.
Dalam pidatonya, Duterte meminta Kongres untuk mengembalikan hukuman mati dengan suntikan mematikan bagi kejahatan terkait narkoba.
“Saya menegaskan pengesahan undang-undang yang menghidupkan kembali hukuman mati dengan suntikan mematikan untuk kejahatan yang ditentukan berdasarkan UU Obat-obatan Berbahaya tahun 2002,” katanya.
Suster Mananzan menggambarkan pidato itu “narsis” dan berpusat pada apa yang “disukai dan tidak disukai presiden.”
Prestasi dibantah oleh tindakan
Uskup Arturo Bastes, pensiunan wali dari Sorsogon, mengatakan sebagian besar prestasi yang disebutkan presiden dalam pidatonya “terbantahkan oleh banyak tindakannya mengerikan.”
Prelatus itu mengatakan Duterte memiliki “daftar panjang” kegagalan dan keputusan buruk termasuk persetujuannya terhadap UU Anti-Terorisme dan serangan terhadap kebebasan pers.
Uskup Bastes mengecam Duterte yang menjadi “pengkhianatan nyata terhadap integritas teritorial kita” karena “sikap tunduk dan pengecutnya terhadap Tiongkok.”
Dalam pidatonya, Duterte mengatakan dia “tidak sanggup” untuk pergi berperang demi menegaskan hak negara atas bagian-bagian Laut Cina Selatan, yang disebut Filipina sebagai Laut Filipina Barat.
“Kita harus pergi berperang. Tapi saya tidak mampu melakukannya. Mungkin beberapa presiden lain bisa tetapi saya tidak bisa. Saya tidak berguna dalam hal itu. Sungguh, saya tidak berguna untuk itu. Saya tidak bisa melakukan apa-apa, “kata Duterte.
“Tiongkok mengklaimnya, kita mengklaimnya. Tiongkok memiliki senjata. Kita tidak memilikinya. Jadi, sesederhana itu. Mereka memiliki properti, jadi apa yang bisa kita lakukan?” dia menambahkan.
Tidak peduli hak asasi manusia
Pastor Edwin Gariguez, sekretaris eksekutif keluar dari Sekretariat Nasional untuk Aksi Sosial konferensi para uskup, mengatakan presiden Duterte “tidak memahami konteks hak asasi manusia.”
Imam itu mengecam Duterte karena menggunakan dan memutarbalikkan kata-kata dari pembela HAM untuk membenarkan perangnya terhadap narkoba yang menewaskan ribuan orang tak bersalah.
Pastor Gariguez mengatakan kepada LiCAS.news bahwa adalah “ironis bersumpah untuk menegakkan hak asasi manusia dan kemudian mengancam akan membunuh para pengguna narkoba dengan membangkitkan kembali hukuman mati.”
Dalam pidatonya, presiden mengatakan pemerintahannya “percaya bahwa bebas dari narkoba, terorisme, korupsi, dan kriminalitas itu sendiri adalah hak asasi manusia.”
“Yakinlah bahwa kita tidak akan menghindari kewajiban kita untuk melawan hak asasi manusia,” kata Duterte.
Pastor Franciscan Angel Cortez, OFM, sekretaris eksekutif Asosiasi Para Pemimpin Religius Filipina, mengatakan pidato presiden itu memaparkan ketidakefisienan pemerintah saat ini dalam bertindak atas masalah-masalah nyata negara itu .
Imam itu mengatakan Duterte bahkan tidak menyebutkan rencana tentang “cara mengatasi penyakit masyarakat” yang mempengaruhi terutama orang miskin dan yang terpinggirkan.
Imam itu mengatakan Duterte bahkan tidak menyebutkan rencana
“bagaimana mengatasi penyakit masyarakat” yang mempengaruhi terutama orang miskin dan yang terpinggirkan.
“Apakah pidatonya benar-benar mencerminkan keadaan negara yang sebenarnya?” tanya Uskup Dindo Ranojo dari Gereja Independen Filipina.
“Orang-orang menderita … Kita sekarang hidup di bawah hutang dan masyarakat masih akan menderita bagaimana cara membayar hutang yang muncul selama pandemi ini,” kata uskup itu.