Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Myanmar harus mengakhiri penahanan Muslim Rohingya di Rakhine

Myanmar harus mengakhiri penahanan Muslim Rohingya di Rakhine

Kelompok hak asasi manusia internasional meminta pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri penahanan sewenang-wenang dan tidak terbatas terhadap ribuan Muslim Rohingya di kamp-kamp di Negara Bagian Rakhine.

Dalam sebuah pernyataan, Human Rights Watch (HRW) menggambarkan kamp-kamp yang menampung sekitar 130.000 orang di sana sangat jorok dan kejam.

Laporan HRW setebal 169 halaman yang mendokumentasikan “kondisi tidak manusiawi” di 24 kamp dan fasilitas yang menyerupai kamp di Rakhine tengah, dirilis di Bangkok pada 8 Oktober.




HRW mengatakan bahwa upaya baru-baru ini yang seolah-olah “menutup” kamp-kamp tampaknya dirancang untuk membuat pemisahan dan pengurungan permanen warga Rohingya dan ribuan Muslim Kaman, yang ditahan pihak berwenang di kamp-kamp penahanan terbuka sejak mereka pindah akibat kampanye pembersihan etnis tahun 2012.

Para penghuni kamp-kamp itu mengalami malnutrisi, penyakit menular, dan kematian ibu dan anak yang lebih tinggi daripada tetangga etnis Rakhine. Laporan kematian yang dapat dicegah adalah hal biasa.

“Kamp ini bukan tempat yang layak huni bagi kami,” kata seorang pria Rohingya kepada HRW.

Kelompok hak asasi itu mengatakan kondisi yang dihadapi Muslim Rohingya Kaman mencakup keterbatasan mata pencaharian, pergerakan, pendidikan, perawatan kesehatan, dan makanan serta tempat tinggal yang memadai. Hal ini telah diperparah dengan semakin luasnya kendala pada bantuan kemanusiaan, yang diandalkan Rohingya untuk bertahan hidup.

- Newsletter -

“Pemerintah Myanmar telah menahan 130.000 warga Rohingya dalam kondisi tidak manusiawi selama delapan tahun, tersingkir dari rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka, dengan harapan yang sangat kecil  bahwa keadaan akan membaik,” kata Shayna Bauchner, peneliti Asia dan penulis laporan tersebut.

“Klaim pemerintah bahwa mereka tidak melakukan kejahatan internasional yang parah tidak ada gunanya sampai mereka mereka benar-benar memotong kawat berduri dan mengizinkan Rohingya untuk kembali ke rumah mereka, dengan perlindungan hukum penuh,” kata Bauchner.

HRW mengatakan bahwa pelanggaran terhadap Rohingya sama dengan kejahatan apartheid dan penganiayaan terhadap kemanusiaan. Pembersihan etnis dan interniran sejak 2012 meletakkan dasar bagi kekejaman massal oleh militer pada 2016 dan 2017 di bagian utara Rakhine, yang juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mungkin genosida.

Polisi Myanmar mengawal jurnalis selama kunjungan yang diatur pemerintah ke kamp Muslim Rohingya di Thet Kae Pyin di Negara Bagian Rakhine saat Idul Adha pada 22 Agustus 2018. (Foto oleh Phyo Hein Kyaw / AFP)

Pihak berwenang menggunakan kekerasan tahun 2012 terhadap komunitas Rohingya sebagai dalih untuk memisahkan dan membatasi penduduk yang telah lama direncanakan untuk disingkirkan dari negara itu. 

Seorang petugas PBB yang bekerja di Negara Bagian Rakhine pada saat itu menggambarkan bahwa pendekatan pemerintah pada tahun 2012 adalah “Sudutkan mereka, pagari mereka, batasi ‘musuh’.” Ribuan penganut Buddha dari Rakhine yang mengungsi pada tahun 2012 telah kembali ke rumah mereka atau dimukimkan kembali.

HRW mengatakan bahwa pemerintah mengumumkan pada April 2017 bahwa mereka akan mulai menutup kamp-kamp itu. Pada November 2019, mereka mengadopsi “Strategi Nasional Pemukiman Kembali Pengungsi Internal (IDP) dan Penutupan Kamp Pengungsi,” yang diklaim akan memberikan solusi yang berkelanjutan.

Namun, proses tersebut mencakup pembangunan infrastruktur permanen di dekat lokasi kamp saat ini, yang semakin memperkuat pemisahan dan menolak hak Rohingya untuk kembali ke tanah mereka, membangun kembali rumah mereka, mendapatkan kembali pekerjaan, dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat Myanmar.




“Tidak ada yang bisa kembali, tidak ada yang diberi kompensasi,” kata seorang pemimpin komunitas Kaman. “Kami terus meminta, bahkan kami tetap meminta tanah kami kepada pemerintah.” Di tiga kamp yang dinyatakan “ditutup”, tidak ada peningkatan yang mencolok dalam kebebasan bergerak atau akses ke layanan dasar.

Rasa putus asa di kamp-kamp itu meluas. Tidak satu pun dari orang Rohingya yang diwawancarai oleh Human Rights Watch mengungkapkan penahanan mereka yang tidak terbatas bisa  berakhir atau bahwa suatu saat anak-anak mereka dapat hidup, belajar, dan bergerak dengan bebas.

“Saya pikir sistemnya sudah permanen. Tidak ada yang berubah. Itu hanya janji-janji saja,” kata seorang wanita Rohingya.

Pandemi COVID-19 dan meningkatnya pertempuran antara militer Myanmar dan Tentara Arakan, kelompok bersenjata etnis Rakhine, telah meningkatkan kerentanan ekstrem Rohingya selama beberapa bulan terakhir.

Pemilihan umum akan diadakan pada November mendatang, tetapi sebagian besar orang Rohingya dilarang mencalonkan diri dan hak pilih mereka dicabut.

Di seberang perbatasan di Bangladesh, hampir satu juta pengungsi Rohingya, yang sebagian besar melarikan diri dari kekejaman militer Myanmar setelah Agustus 2017, tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak dan rawan banjir.

Pemerintah Myanmar telah menegaskan bahwa mereka siap untuk memulangkan mereka, namun pengurungan selama delapan tahun terhadap 130.000 Rohingya di Negara Bagian Rakhine tengah merusak klaim tersebut.

Pengungsi di Bangladesh telah menjabarkan kondisi mereka untuk kembali, termasuk keamanan dan kebebasan bagi Rohingya di kamp-kamp Rakhine tengah.

“Kami tahu ribuan orang Rohingya di Myanmar masih berada di kamp penahanan,” kata seorang pengungsi Rohingya. “Jika orang-orang itu dibebaskan dan kembali ke desa mereka, maka kami akan tahu bahwa aman untuk kembali, dan kami akan pulang.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version