Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Features (Bahasa) Mantan pemberontak di Mindanao mulai membangun perdamaian di zona perang

Mantan pemberontak di Mindanao mulai membangun perdamaian di zona perang

Usianya baru 15 tahun ketika dia mulai membawa pistol, bukan pensil. Dia tidak pergi ke sekolah, tetapi dididik untuk berperang.

Anowar Mapandi, kini 46 tahun, tidak tamat SD. Dia harus melarikan diri ke pegunungan di provinsi Lanao del Norte untuk bersembunyi.

Pada tahun 2008, Mapandi, seorang komandan brigade Angkatan Bersenjata Islam Bangsamoro, memimpin lebih dari seratus pejuang yang menyerang kota Kauswagan dan Kolambogan.




Sedikitnya 31 orang, sebagian besar warga sipil, tewas dan beberapa bangunan hancur.

Sekarang, 12 tahun setelah serangan pemberontak itu, putra semata wayang Mapandi, yang berusia 11 tahun, bermimpi menjadi seorang polisi.

“Saya mendukungnya,” kata mantan pemimpin pemberontak itu. “Itulah mengapa saya bahagia dengan kehidupan kami sekarang [karena Undang-Undang Organik Bangsamoro].”

Undang-undang Organik Bangsamoro, atau Undang-undang Organik untuk Daerah Otonomi Bangsamoro di Muslim Mindanao, mengatur pembentukan entitas politik otonom yang dikenal sebagai Daerah Otonomi Bangsamoro.

Undang-undang tersebut adalah hasil dari perjanjian damai tahun 2014 antara pemerintah Filipina dan pemberontak Front Pembebasan Islam Moro, yang telah melancarkan perang kemerdekaan selama hampir lima dekade.

- Newsletter -

Berdasarkan kesepakatan itu, para pemberontak harus menghentikan perjuangan bersenjata dengan imbalan kebebasan untuk mengatur wilayah otonom mereka sendiri di Filipina selatan.

Keluarga mantan pejuang Front Pembebasan Islam Moro menghadiri pertemuan di bekas kamp pemberontak untuk membahas proyek di daerah itu pada 2 November (Foto oleh Divina Suson)

Harapan masa depan

Pada 2 November, Mapandi memimpin rekan-rekannya dan keluarga mereka dalam pertemuan di bekas zona perang, sekitar 22 kilometer dari jalan raya nasional di Lanao del Norte.

Bukan senjata yang mereka bawa melainkan makanan untuk piknik bersama keluarga mereka.

Mantan atasan Mapandi dalam serangan tahun 2008 itu datang  dengan membawa karung beras dari Kantor Penasihat Presiden untuk Proses Perdamaian.

“Saya di sini hari ini tanpa senjata api dan tanpa seragam kamuflase karena saya bukan lagi musuh pemerintah,” kata Abdullah Macapaar, sekarang anggota parlemen Daerah Otonomi Bangsamoro di Muslim Mindanao.

“Saya di sini hari ini, bukan untuk berperang melawan pemerintah tetapi untuk membawa proyek dan pembangunan untuk daerah kita,” katanya.

Macapaar, yang sebelumnya dikenal sebagai Komandan Bravo, mengumumkan bahwa kubu mantan pemberontak tersebut, kini akan menerima proyek senilai sekitar US $ 1,7 juta.




Proyek-proyek tersebut akan mendukung “program normalisasi” di bawah kesepakatan damai sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk membantu memacu kegiatan ekonomi di bekas markas pertahanan pemberontak.

“Tanpa perdamaian, tidak ada pembangunan,” kata Macapaar, saat dia meminta mantan pejuangnya “untuk bersatu erat melawan musuh perdamaian.”

“Saya masih seorang pejuang,” katanya, “tetapi seorang pejuang perdamaian.”

Membangun kepercayaan

Pertemuan tersebut, yang difasilitasi oleh organisasi masyarakat sipil berbasis agama Pakigdait, Inc., berfungsi sebagai “langkah untuk membangun kepercayaan” untuk memperkuat hubungan antara mantan pemimpin pemberontakan dan masyarakat.

“Kegiatan ini bertujuan untuk Camp Bilal yang inklusif, bersatu, dan damai,” kata Direktur Pakigdait Abel Moya.

Bilal adalah sebuah daerah di perbatasan provinsi Lanao del Norte dan Lanao del Sur dimana beberapa kamp pemberontak berada.

Kolonel Charliemagne Batayola, wakil komandan Brigade Infanteri Mekanik ke-2 Angkatan Darat Filipina, mengatakan pasukan pemerintah juga mengunjungi daerah itu tetapi bukan untuk berperang.

“Kami datang ke sini sebagai teman Anda karena kita, para pemberontak dan militer, sama-sama mencintai perdamaian dan komunitas kita,” kata Batayola kepada kerumunan sekitar seribu mantan pemberontak.

Istri seorang mantan pejuang Front Pembebasan Islam Moro mengisi formulir di lokasi pertemuan mantan pejuang pemberontakan di Lanao del Norte pada 2 November (Foto oleh Divina M. Suson)

Kolonel Nolie Anquillano, wakil komandan brigade dari Brigade Infantri 103 Angkatan Darat, meminta bantuan dalam memerangi kelompok-kelompok ekstremis yang terus menyebarkan teror di beberapa bagian Mindanao.

“Saya berharap kita dapat meyakinkan saudara-saudara kita untuk tidak bergabung dengan mereka karena perdamaian tidak hanya menjadi kepentingan Tentara Filipina tetapi juga [Front Pembebasan Islam Moro] dan seluruh bangsa,” kata pejabat militer itu.

Mapandi mengaku “bahagia” dengan hidupnya sekarang. “Saya bisa pergi ke kota dengan baik tanpa rasa takut dan tanpa senjata,” katanya.

Ia mengatakan dirinya tidak ingin anaknya mengikuti jejaknya.

“Saya tidak ingin dia menjadi seperti saya. Saya ingin dia menyelesaikan sekolah dan menjadi polisi seperti yang dia inginkan, ”kata mantan pemimpin pemberontak itu.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version