Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Upaya banding kasus penistaan pasutri Kristen di Pakistan ditunda terus

Upaya banding kasus penistaan pasutri Kristen di Pakistan ditunda terus

Upaya banding yang dilakukan pasangan Kristen yang menghadapi hukuman mati karena mengirim pesan teks ‘menghujat’ kembali ditunda.

Pasangan suami dan istri – Shagufta Kausar dan Shafqat Emmanuel – telah dipenjara sejak tahun 2013 dan dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman mati pada April 2014.

Keduanya dijadwalkan melakukan sidang banding di Pengadilan Tinggi Lahore pada 24 Februari, tetapi ditunda pada saat-saat terakhir. Sudah enam tahun berlalu sejak pengajuan banding mereka pertama kali disampaikan.




Upaya banding pasangan itu sebelumnya dijadwalkan pada April 2020 tetapi ditunda karena pandemi. Pada sidang tanggal 15 Februari, hakim meninggalkan pengadilan.

Pengacara pasangan itu, Saiful Malook, yang juga mewakili kasus penistaan agama terkenal terhadap wanita Katolik, Asia Bibi, mengatakan kepada The Guardian bahwa hakim di negara itu menghindari kasus tersebut karena takut, karena kasus penistaan agama sangat kontroversial dan seringkali berbahaya bagi mereka yang terlibat.

“Kami bahkan belum diberi tanggal untuk sidang berikutnya. Hakim terus menunda kasusnya karena takut, tapi sekarang sudah cukup. Ini harus didengar. Saya khawatir akan nyawa mereka,” kata Malook kepada The Guardian.

“Hakim di Pakistan jarang mendengar kasus penodaan agama sampai ada tekanan politik atau internasional. Tidak ada bukti substantif terhadap klien saya, dan seharusnya sudah lama dibebaskan,” katanya.

Pasangan suami istri – Shafqat Emmanuel dan Shagufta Kausar – dipenjara sejak 2013. (Foto disediakan)
- Newsletter -

Pasangan itu menghadapi hukuman mati karena mengirim teks yang dianggap ‘menghujat’ kepada seorang ulama masjid yang menghina Nabi Muhammad, dari telepon yang berisi kartu SIM yang terdaftar atas nama Shagufta. Keduanya menyangkal tuduhan tersebut dan percaya bahwa SIM tersebut didapat oleh seseorang yang menggunakan salinan KTP-nya, kata Amnesty International dalam sebuah pernyataan.

Samira Hamidi, wakil direktur regional Amnesty International untuk Asia Selatan, mengatakan hukuman mati wajib bagi pasangan itu adalah simbol dari bahaya yang dihadapi oleh agama minoritas di negara itu jika UU Penistaan Aagama tetap berlaku.

“Pemerintah Pakistan harus segera mencabut UU Penistaan Agama yang telah disalahgunakan secara berlebihan dan menyebabkan kerugian yang tak terukur,” kata Hamidi.

Pasangan yang sudah menikah itu ditahan di penjara terpisah di provinsi Punjab dengan keduanya dipisahkan dari tahanan lain.

Kakak ipar Kausar, Joseph, yang sekarang tinggal di tempat persembunyian demi keselamatannya sendiri, memberi tahu The Guardian bahwa kerabat pasangan itu mengkhawatirkan kesejahteraan mereka.

“Kakak ipar saya hampir mati secara fisik, karena dia lumpuh dan tidak bisa menggerakkan bagian bawah tubuhnya, dan adik perempuan saya mati secara mental karena dia telah hidup sendiri selama enam tahun dan juga merasa orang bahkan dapat membunuhnya di penjara ,” kata Joseph.

“Dia sangat terganggu, dan rambutnya rontok,” katanya.




Kasus lainnya, Imran Ghafur Masih, seorang Kristen yang sudah lebih dari 10 tahun dipenjara karena diduga melakukan penistaan, dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi di Lahore pada 15 Desember tahun lalu.

Imran mengajukan banding atas kasusnya tetapi ditunda hampir 70 kali selama 10 tahun. Pengacara Imran mengatakan banding tersebut melewati kantor setidaknya 10 hakim.

Hingga saat ini, ada 24 orang Kristen dipenjara atas tuduhan penistaan di Pakistan. Sebagian besar dari mereka yang dituduh melakukan penistaan agama adalah anggota Ahmadiyah, yang dipandang oleh banyak Muslim di Pakistan sebagai bidah.

Pemerintah Pakistan belum pernah melaksanakan hukuman mati karena penistaan agama.

Jumlah  umat Kristen di Pakistan hanya sekitar 1,6 persen dari total populasi negara itu yang berjumlah 216 juta.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version