Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Kekurangan tempat, umat Katolik India beralih ke kremasi

Kekurangan tempat, umat Katolik India beralih ke kremasi

Keuskupan agung Katolik di bawah ritus Syro Malabar timur sedang membangun krematorium di negara bagian Kerala di bagian selatan India, sebuah langkah yang dianggap keluar dari tradisi.

Akibat pandemi dan menyusutnya ruang perkotaan, krematorium yang mungkin pertama bagi umat Katolik di India akan mulai beroperasi di Mulayam di distrik Thrissur pada bulan Juni.

Batu fondasi untuk Pusat Kremasi Keuskupan Agung Damian diletakkan bulan lalu oleh Uskup Agung Andrews Thazhath dari Thrissur, kata Pastor Nyson Elanthanathu, juru bicara Keuskupan Agung Thrissur.




“Ini merupakan konsep baru bagi umat Katolik yang menguburkan jenazah, tetapi pandemi dan protokol yang terkait dengan pengawetan jenazah memaksa orang untuk mengkremasi orang-orang meninggal karena COVID-19,” kata Pastor Elanthanathu.

Pada awalnya orang-orang sangat marah dengan konsep kremasi seperti dalam tradisi Hindu, kata Uskup Pauly Kannookadan dari Keuskupan Irinjalakuda.

“Ketika saya mengimbau umat di keuskupan saya April lalu untuk mengkremasi korban COVID-19, beberapa orang mencemooh saya di media sosial. Mereka bahkan membuat kliping video yang menunjukkan saya dikremasi, tapi kemudian mereka mengerti bahwa kremasi itu penting, ” katanya.

Untuk menguburkan korban pandemi, orang harus menggali kuburan sedalam 10 kaki. Itu sangat mengganggu kuburan lain karena di beberapa kuburan tidak ada banyak ruang di antara dua kuburan. Ini membuat pemakaman menjadi sulit, jadi kremasi dipilih, kata Uskup Kannookadan.

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan penguburan korban COVID-19 menimbulkan risiko wabah lebih lanjut melalui sumber air sementara kremasi membunuh virus.

- Newsletter -

Sedikitnya terdapat 160 korban COVID-19 Katolik, termasuk Uskup Emeritus Joseph Pastor Neelankavil, yang meninggal pada 17 Februari, dikremasi di Kerala, kata Pastor Elanthanathu.

Sejak wabah ini meletus, Thresiamma Sebastian yang berusia 60-an tahun menjadi orang pertama yang dikremasi di pemakaman Gereja St. Augustinus di desa Mararikulum, distrik Alappuzha, Kerala pada 27 Juli 2020.

Uskup Agung Thrissuer Andrews Thazhath, Uskup Auksilier Thrissuer Tony Neelamkavil, Pastor Jiphy Mekkattukulam, pastor paroki Gereja Kanak-Kanak Yesus dan tamu utama K Rajan, anggota Majelis Legislatif Kerala, meletakkan batu fondasi Pusat Kremasi Keuskupan Agung Damian di Mulayam di Thrissur kota di Kerala pada 8 Februari (Foto disediakan)

Gereja-gereja ritus Latin di negara bagian itu juga menganjurkan kremasi bagi mereka yang meninggal karena COVID-19.

April lalu, Kardinal Oswald Gracias, uskup agung Bombay, meminta umat untuk mengkremasi mereka yang meninggal karena COVID-19.

Sebelum krematorium dibangun, setidaknya 26 jenazah telah dikremasi di lokasi tersebut, kata Pastor Varghese Kuthur, Petugas Keuangan Keuskupan Agung Trichur, yang bertanggung jawab atas proyek krematorium.

Imam itu mengatakan tanah seluas satu hektar untuk krematorium berbasis gas itu merupakan sumbangan dari Institut Damian, sebuah pusat penyakit kusta di Mulayam, katanya.

Direktur Institut Damian Pastor Simson Chiramel mengatakan itu adalah bagian dari kuburan gereja yang tidak memiliki pemakaman.

Secara tradisional semua gereja di Kerala memiliki tempat kuburan sendiri, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan sekarang karena kekurangan tanah dan meningkatnya biaya.

Pastor Chiramel mengatakan kremasi lebih ekonomis dan ramah lingkungan serta menghemat tempat. “Biayanya lebih murah karena tidak perlu tanah. Tidak ada penguburan berarti tidak ada kontaminasi tanah dan air.”

Pastor Kuthur lebih lanjut mengatakan “meskipun krematorium listrik lebih ideal, kami memilih yang berbasis gas karena biayanya jauh lebih rendah. Bahkan ini akan menelan biaya sekitar enam juta rupee ($ 82.189). Kami sedang mengerjakannya karena ini adalah sesuatu yang baru dan kami baru mempelajari seluk-beluknya. ”

Menurut imam itu, dalam analisis akhir, biaya kremasi akan lebih murah karena kami memiliki beberapa sponsor dan tidak perlu memulihkan seluruh biaya konstruksi dari mereka yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Namun, dia mengatakan biaya kremasi baru akan ditentukan kemudian.

Krematorium itu nantinya akan terbuka untuk semua agama, tambah Pastor Kuthur.




Uskup Kannookadan mengatakan Keuskupan Irinjalakuda juga berencana membangun krematorium dan sedang menunggu izin dari pemerintah.

Kemungkinan akan ada banyak krematorium Kristen didirikan di negara itu jika pandemi berlanjut. Kremasi oleh umat Katolik dilakukan di banyak negara, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, kata uskup itu.

Kremasi juga diatur dalam Kode Hukum Kanonik pada tahun 1983 dan Kode Kanon Gereja-Gereja Timur pada tahun 1990, kata Uskup Kannookadan.

Izin diberikan dengan syarat kremasi tidak dilakukan sebagai tanda penyangkalan atas iman Kristen tentang kebangkitan orang mati, katanya.

Yang tidak diijinkan adalah menaburkan abu di sungai dll, membagi-bagi abu ke teman dan kerabat, atau menyimpannya di rumah tidak diperbolehkan. Abunya harus dikuburkan di pemakaman, kata Uskup Kannookadan.

Sesuai dengan keyakinan Gereja Katolik pada kebangkitan orang mati, jenazah harus diperlakukan dengan hormat dan dimakamkan di tempat yang disucikan, tambahnya.

Uskup Agung Thrissuer Andrews Thazhath menyampaikan sambutan saat peletakan batu pertama Pusat Kremasi Keuskupan Agung Damian di Mulayam, kota Thrissur, Kerala pada 8 Februari (Foto disediakan)

Kremasi adalah pilihan yang lebih disukai mengingat kendala kekurangan tanah, kata teolog Virginia Saldhana dari Mumbai, di negara bagian Maharashtra.
“Saya juga lebih suka jika itu menjadi pilihan, bukan wajib,” kata A.C. Michael, mantan anggota Komisi Minoritas Delhi.

Ia mengatakan di Delhi lebih dari satu dekade lalu, almarhum Arnold James, yang saat itu menjadi anggota komisi, telah mengatur dengan pihak berwenang dan Gereja untuk mengizinkan opsi kremasi bagi orang Kristen karena kekurangan tanah.

Gloria Menezes, seorang pensiunan guru, mengatakan bahwa tradisi dan sentimen Kristen menuntut penguburan.

“Saya tidak menerima gagasan itu,” kata Menezes. “Saya tidak ingin dilupakan. Saya masih mengunjungi kuburan orang tua saya dan ingin anak-anak saya juga melakukannya. ”

Namun bagi Dominic Gerald, seorang insinyur dan mantan seminaris mengatakan “kompromi dengan Kitab Suci tidak terpikirkan”.

Pria berusia 83 tahun itu mengatakan “kita percaya bahwa pada Hari Penghakiman jiwa kita bergabung dengan tulang belulang dan muncul di hadapan takhta Pengadilan sebagai tubuh yang dibangkitkan. Kremasi bertentangan dengan doktrin kita.”

Namun, Nathalia John, seorang psikolog Katolik, mengatakan “pandemi dan ketiadaan tempat menjadi krisis yang serius, dan beberapa tahun kemudian kita hanya punya sedikit pilihan selain menerima kremasi sebagai cara untuk menguburkan orang yang kita cintai.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: yourvoice@licas.news

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Exit mobile version