Polisi Kamboja menangkap seorang aktivis politik karena diduga menghasut kerusuhan sosial dengan mengklaim bahwa vaksin COVID-19 buatan Tiongkok tidak aman dan telah menyebabkan beberapa kematian.
Thorn Kimsan, anggota Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), ditangkap polisi saat bekerja di sebuah restoran di Phnom Penh pada 14 Maret.
Juru bicara kepolisian mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) bahwa Thorn Kimsan ditangkap karena pernyataan yang dimuat di halaman Facebook-nya “sangat mengganggu keamanan sosial.”
“Dia mengirim pesan suara yang mengatakan bahwa vaksin Tiongkok telah menyebabkan orang di Kamboja meninggal, dan ini tidak benar,” kata San Sok Seyha, juru bicara Komisi Kepolisian Phnom Penh.
Ia mengatakan komentar aktivis tersebut “merupakan hasutan untuk menciptakan keresahan sosial dan kesalahpahaman.”
Akan tetapi putri aktivis tersebut mengatakan kepada RFA bahwa polisi menangkap ibunya “tanpa alasan” dan menyebut penangkapan ibunya bermotif politik dan “tidak adil”.
Ia mengatakan petugas yang menangkap tidak menunjukkan surat perintah penangkapan.
“Mereka tidak menjelaskan apa-apa. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka akan membawanya ke kantor distrik Tuol Kok,” kata putrinya.
Penangkapan Thorn Kimsan adalah kasus terbaru dari serangkaian penangkapan terhadap oposisi politik dan aktivis sosial dengan tuduhan yang tidak jelas atau tuduhan “penghasutan,” tanpa surat perintah atau penjelasan yang diberikan kepada tersangka atau keluarga mereka.
Akhir Juli 2020 hingga 15 Maret tahun ini, sekitar 80 aktivis, pekerja LSM, dan biksu Buddha telah ditangkap, lapor RFA.
Seung Sen Karuna, juru bicara kelompok hak asasi yang berbasis di Kamboja, Adhoc, mengatakan penangkapan itu melanggar hak-hak mereka yang ditahan.
Sebelumnya, dua aktivis CNRP lainnya, Thun Chantha dan Mey Sophon, juga ditangkap sebelumnya karena membuat komentar di Facebook yang mengkritik vaksin buatan Tiongkok.
Pengadilan di Phnom Penh mendakwa mereka pada 28 Februari karena membuat komentar yang kemungkinan besar akan memicu “kerusuhan sosial besar.”
“Saat kami sibuk mencoba memotivasi seluruh warga untuk membantu mencegah penyebaran virus corona, mereka malah menciptakan kekacauan dengan mengatakan vaksin itu dapat menyebabkan kematian,” kata Chhay Kim Kheourn, juru bicara Komisi Kepolisian Nasional.
“Mereka membingungkan orang dan menghina para pemimpin [Kamboja]. Apakah itu benar-benar kebebasan berbicara? ” kattanya. “Kami harus menegakkan hukum.”
Kamboja dikritik awal bulan ini atas rancangan undang-undang COVID-19 yang digambarkan “kejam” oleh Human Rights Watch, yang mengatakan RUU itu akan semakin mengikis hak-hak aktivis dan pembangkang.
Kelompok hak asasi itu mengatakan RUU tersebut berisi ketentuan yang terlalu luas dan tidak jelas yang dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak berwenang dan tidak bisa memberikan pengawasan independen atau pengamanan prosedural.
Minggu lalu, Kamboja mencatat kematian pertama akibat COVID-19, dan telah mencatat 1.325 kasus pada 16 Maret. Negara itu memulai program vaksinasi COVID-19 bulan lalu.