Pihak berwenang di Sri Lanka telah menangkap seorang politisi Muslim terkemuka dan saudaranya atas tuduhan keterlibatan mereka dalam pemboman oleh teroris Minggu Paskah 2019 yang menewaskan 269 orang.
Polisi menangkap Rishad Bathiudeen, seorang anggota parlemen oposisi, dan saudaranya Reyaj Bathiudeen pada 24 April karena diduga membantu dan bersekongkol dengan para pelaku bom bunuh diri, lapor Associated Press.
Juru bicara kepolisian Ajith Rohana mengatakan dua bersaudara itu ditangkap berdasarkan bukti langsung, tidak langsung, dan “ilmiah”.
Sebelumnya pihak berwenang telah menyebut dua kelompok Muslim lokal yang terkait dengan ISIS terlibat dalam ledakan di dua gereja Katolik, sebuah gereja Protestan, dan tiga hotel turis.
Rushdhie Habeeb, pengacara Bathiudeen, menyebut penangkapan itu bermotif politik.
“Alasan penangkapan tidak disampaiakn pada saat penangkapan oleh mereka yang melakukan penggerebekan tengah malam,” kata pengacara itu seperti dilaporkan AP.
Menurut Habeeb, penangkapan itu bertujuan untuk “menghukum pemimpin politik Muslim … atas tindakan dari beberapa pemuda Muslim yang secara luas dituduh telah digunakan sebagai pion oleh kekuatan asing.”
Penangkapan itu terjadi di tengah meningkatnya tuntutan akan keadilan oleh para pemimpin dan komunitas Katolik Sri Lanka saat peringatan dua tahun serangan itu pekan lalu.
Bulan lalu, berpakaian serba hitam, umat Katolik Sri Lanka juga menghadiri Misa “Minggu Hitam” sebagai bentuk protes.
Meskipun sebagian besar dari mereka yang terkait dengan serangan tersebut telah ditangkap, Kardinal Malcolm Ranjith dari Kolombo bersikeras bahwa pemboman itu tidak mungkin direncanakan sendiri oleh para pelaku.
Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang berkuasa sejak akhir 2019, berada di bawah tekanan untuk mencari dalang serangan tersebut.
Pemerintah Rajapaksa menuduh seorang ulama yang ditangkap segera setelah serangan tersebut sebagai dalangnya. Tetapi klaim tersebut tidak diterima oleh para pemimpin Gereja Katolik.
Kardinal Ranjith menuding komisi kepresidenan yang menyelidiki serangan itu hanya berfokus pada kegagalan otoritas yang berkuasa dalam mencegah pemboman, bukan pada upaya menemukan orang-orang yang bertanggung jawab langsung.
Baik Muslim maupun Katolik adalah minoritas di Sri Lanka, sebuah negara dengan mayoritas umat Buddha yang mencapai 70 persen dari populasi. Muslim, yang mencakup hampir 10 persen dari 21 juta penduduk Sri Lanka, telah menghadapi peningkatan serangan dari mayoritas penganut Buddha garis keras Sinhala selama dekade terakhir.