Uskup terpilih Hong Kong Stephen Chow mengatakan bahwa dia ingin menyatukan umat di keuskupannya yang terpecah saat kepemimpinannya mulai efektif akhir tahun ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut uskup baru perlu mengatasi perbedaan di antara umat Katolik di Hong Kong, yang diperparah oleh pelbagai tanggapan terhadap gerakan protes di wilayah itu.
Joseph Cheng, seorang Katolik asal Hong Kong dan pensiunan profesor ilmu politik, mengatakan kepada CNA bahwa lembaga-lembaga Katolik telah menjadi sumber utama dari perpecahan ini.
Hong Kong adalah kota yang dipenuhi dengan institusi Katolik, mulai dari rumah sakit hingga sekolah dan universitas. Universitas-universitas, khususnya, telah mendidik sejumlah aktivis demokrasi, membentuk keyakinan teguh akan keadilan dan kebebasan yang mendorong mereka turun ke jalan.
Namun keinginan untuk mempertahankan lembaga-lembaga ini juga membuat umat Katolik lainnya tetap diam, kata Cheng yang sudah meninggalkan Hong Kong pada Juli 2020 dan sekarang tinggal di Auckland, Selandia Baru.
“Gereja Katolik menjalankan banyak layanan penting bagi warga Hong Kong, terutama sekolah dasar, sekolah menengah. Beberapa dari lembaga-lembaga itu adalah yang paling bergengsi di Hong Kong. Ada sejumlah rumah sakit dan pusat pelayanan sosial, lembaga kesejahteraan yang dijalankan oleh Gereja,” kata Cheng.
“Sekarang semua lembaga pelayanan ini sebagian besar dibiayai oleh pemerintah. Jadi Gereja Katolik dalam mempertahankan layanan ini harus bergantung pada dukungan keuangan dari pemerintah. Dan ada kecenderungan alami … bagi lembaga-lembaga ini untuk mempertahankan hubungan yang dapat diterima dengan pemerintah, hubungan kerja sama dengan pemerintah,” katanya.
Namun hal ini tidak selalu demikian, karena keuskupan Hong Kong mengajukan gugatan terhadap pemerintah pada tahun 2004 setelah amandemen disahkan yang mewajibkan “manajemen berbasis sekolah”, sesuatu yang disebut Kardinal Joseph Zen, uskup Hong Kong pada saat itu, sebagai “konspirasi” oleh pemerintah untuk mengambil alih sekolah-sekolah Katolik dari Gereja.
Sebagian umat Katolik menanggapi perubahan dramatis yang terjadi di Hong Kong sejak 2019 dengan memasuki “mode bertahan hidup.”
Menurut Cheng, banyak umat Katolik di wilayah itu adalah kelas menengah yang memiliki pekerjaan yang baik dan juga memiliki kecenderungan untuk menerima situasi yang tidak menguntungkan itu.
“Artinya begini, karena kamu tidak bisa berbuat banyak, kamu harus tetap menundukkan kepala. Anda hanya harus menerima, tetap diam, berbohong, dan bertahan,” katanya.
“Tentu saja pada saat yang sama, banyak umat Katolik yang idealis,” katanya. “Mereka peduli dengan nilai-nilai universal dan mereka ingin menjunjung nilai-nilai itu. Mereka ingin terus mengadvokasi keadilan sosial. Mereka ingin terus mengkritik ketidakadilan yang mereka lihat, ketidakadilan pemerintah yang mereka tolak.”
Lebih dari satu juta warga Hong Kong, termasuk sejumlah umat Katolik terkemuka, mengambil bagian dalam protes pro-demokrasi menentang undang-undang ekstradisi pada tahun 2019 dan menentang keputusan pemerintah setempat untuk mendorong undang-undang keamanan nasional pada tahun 2020.
Jimmy Lai, taipan media yang dipenjara karena perannya dalam gerakan pro-demokrasi, adalah seorang Katolik. Tetapi begitu juga Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong yang mendukung undang-undang keamanan nasional yang kontroversial.
Karena itu para pemimpin Gereja di Hong Kong dihadapkan pada perpecahan yang luas dalam masyarakat, dan mengakui bahwa solidaritas bahkan lebih dihargai di saat-saat sulit, kata Cheng.
Uskup baru Hong Kong, Mgr Chow, adalah produk dari pendidikan, pengajaran, dan kepemimpinan administrasi selama puluhan tahun di sekolah-sekolah Katolik di dalam dan di luar Hong Kong.
Uskup terpilih dari Serikat Yesus itu telah mengetahui ketegangan dan perpecahan ini di Hong Kong dan mengatakan pada konferensi pers sehari setelah pengangkatannya bahwa “mendengarkan dan empati” sangat penting untuk menyembuhkan perpecahan, seraya menambahkan bahwa “persatuan tidak sama dengan keseragaman.”
“Saya tidak memiliki rencana besar, tentang bagaimana menyatukan, tetapi saya percaya ada Tuhan, dan Tuhan ingin kita bersatu,” kata pria berusia 61 tahun itu.
Sehari setelah pengangkatannya menjadi uskup, Chow juga mengatakan kepada wartawan bahwa menurutnya tidak bijaksana untuk mengomentari masalah yang sangat kontroversial, terutama yang berkaitan dengan Tiongkok.
“Itu gegabah,” katanya. “Tapi itu bukan karena saya takut, tetapi, saya pikir, saya percaya bahwa kehati-hatian juga merupakan kebajikan.”
Hampir setahun setelah pengesahan undang-undang keamanan nasional, seorang pejabat di Sekretariat Negara Vatikan mengatakan dia tidak yakin bahwa berbicara tentang situasi di Hong Kong akan “membuat perbedaan sama sekali.”
Hong Kong berada pada titik balik dalam sejarahnya, dan Cheng percaya bahwa orang-orang akan mengingat cara Gereja menanggapinya.
“Ini adalah masa-masa ujian,” katanya. “Warga Hong Kong, orang-orang Tionghoa, di masa depan akan melihat kembali masa-masa ujian ini dan mereka akan mengatakan: Di mana posisi Gereja Katolik? Di mana posisi paus selama masa-masa yang sangat sulit ini?”