Semakin banyak imam dan warga gereja diserang atau diancam karena membela lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Selang beberapa hari setelah Pastor Alex Bercasio, CSsR memberikan penghormatan kepada seorang pemimpin komunitas adat yang terbunuh, imam itu mendapat ancaman pembunuhan.
Sebuah batu dilemparkan ke halaman gereja di kota Laoag dengan pesan bahwa hari-hari hidup imam itu telah dihitung.
Bulan Maret tahun ini, Pastor Bercasio terpaksa meninggalkan tugasnya dan mencari perlindungan di tempat lain.
Bulan lalu, sebuah terpal dipasang di luar kompleks Komunitas Misi Redemptoris di Laoag yang menandai para misionaris sebagai pendukung komunis.
Sementara itu, di wilayah Tagalog Selatan, orang-orang tak dikenal membuntuti Pastor Warren Francis Puno, direktur Layanan Ekologi Keuskupan Lucena.
Seorang tokoh masyarakat yang dekat dengan imam itu pernah menerima pesan yang berbunyi “Diamkan imam itu karena jika Anda tidak menghentikannya, kami akan menghentikannya.”
Sejak 2015, Pastor Puno memimpin gerakan menentang pengoperasian pembangkit listrik tenaga batu bara dan proyek pertambangan batu bara di wilayah itu.
“Ada orang yang tidak senang dengan apa yang kami lakukan. Dan mereka akan melakukan segala cara untuk menghentikan kami dalam perang untuk perlindungan lingkungan,” katanya.
Di provinsi Surigao del Sur, Filipina selatan, Pastor Raymond Montero Ambray telah menjadi sasaran fitnah dan dilabel merah karena karyanya dengan masyarakat adat.
Poster online dan terpal di berbagai tempat umum dengan nama dan foto imam itu telah beredar.
Bulan November tahun lalu, imam itu termasuk di antara 17 orang yang ditandai oleh pihak berwenang memiliki hubungan dengan gerakan komunis bawah tanah.
Seorang biarawati misionaris Katolik dan dua uskup Protestan juga termasuk dalam daftar.
“Jika pemerintah tidak dapat melindungi para pembela hak asasi manusia, kami tidak memiliki siapa pun untuk diandalkan selain orang-orang yang dapat membuktikan ketulusan pelayanan kami,” kata Pastor Ambray.
Uskup Modesto Villasanta dari Gereja Persekutuan Gereja Kristus di Filipina mengatakan mereka telah menjadi sasaran karena pelayanan mereka bagi orang miskin.
“Satu kesamaan dari orang-orang yang wajah dan namanya ada di poster-poster itu adalah bahwa kami semua bekerja dan membela hak-hak masyarakat adat,” kata uskup Protestan itu.
Uskup Villasanta mengatakan dia mengkhawatirkan kehidupan para pembela hak asasi manusia karena mereka yang telah diberi label merah di masa lalu “telah mati.”
Pada Agustus 2020, pekerja Gereja Zara Alvarez ditembak mati di Kota Bacolod di Filipina tengah beberapa bulan setelah sebuah poster dengan foto dan namanya dipajang di depan umum.
Uskup San Carlos Mgr Gerardo Alminaza mengimbau masyarakat agar “terus berbicara karena keheningan membunuh” saat keuskupan itu memperingati satu tahun kematian Alvarez pada 17 Agustus.
Sebagai penghormatan kepada Alvarez dan mereka yang telah terbunuh, prelatus itu memerintahkan agar lonceng di semua gereja dan kapel di Keuskupan San Carlos dibunyikan dari tanggal 9 hingga 17 Agustus.
Uskup Alminaza mengatakan daftar orang-orang yang telah terbunuh di pulau Negros “dipenuhi dengan orang-orang yang tidak mementingkan diri sendiri, murah hati, penyayang, pekerja keras, dan pemberani.”
Tahun 2018, sembilan pekerja tebu tewas di kota Sagay di provinsi Negros Occidental. Bulan Maret tahun berikutnya, 14 petani yang ditandai sebagai pemberontak komunis juga tewas.
“Ketika membunyikan lonceng, kami melakukan itu untuk mengingat orang mati dan menghibur orang yang mereka cintai,” kata Uskup Alminaza.
“Kami juga membunyikan lonceng untuk menusuk hati nurani para pembunuh mereka, yang merencanakan kejahatan keji ini terhadap sesama warga Filipina,” tambahnya.
Uskup Alminaza mengatakan membunyikan lonceng juga merupakan seruan harapan bahwa masyarakat merefleksikan pembunuhan despotik itu dan menjadi pembela hak asasi manusia, lingkungan, dan martabat kehidupan.
“Kita tidak boleh takut untuk terus melakukan apa yang benar. Kita harus menumbuhkan dan memperluas pelayanan kita untuk membangun perdamaian,” katanya.
Uskup itu mendesak umat Kristiani untuk menunjukkan solidaritas dengan orang miskin dan tereksploitasi untuk mengatasi ketidakadilan struktural dan historis yang telah menyebabkan kesenjangan ekonomi yang besar.
Sejak tahun 2016 dan 2020 kelompok hak asasi manusia dan lingkungan telah mendokumentasikan sedikitnya 186 pembunuhan di antara para pembela lingkungan, dan ribuan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan upaya membela lingkungan dan HAM.
Jaringan Rakyat Kalikasan untuk Lingkungan mendokumentasikan 282 pembunuhan para pembela lingkungan sejak 2001. Sekitar 66 persen, atau 186 dari 282 kasus, terjadi di bawah pemerintahan Duterte.
Filipina menempati peringkat pertama dan kedua dalam kategori paling berbahaya di dunia bagi aktivis lingkungan pada 2018 dan 2019, menurut Global Witness yang berbasis di London.