Paus Fransiskus memperingatkan umat beriman akan penyalahgunaan agama untuk tujuan partisan, dengan mengatakan bahwa salib tidak boleh dimanfaatkan sebagai simbol politik.
“Janganlah kita mereduksi salib menjadi objek pengabdian, apalagi simbol politik, tanda status agama dan sosial,” kata Paus Fransiskus dalam homilinya dalam ritus Bizantium di Slovakia pada 14 September.
Berbicara tentang identitas Kristen, paus mencatat bahwa salib dan aksesoris salib sering digunakan secara dangkal oleh orang Kristen di leher mereka, di dinding mereka, di mobil dan di saku mereka.
“Apa gunanya ini semua, kecuali jika kita berhenti untuk melihat Yesus yang disalibkan dan membuka hati kita kepada-Nya,” kata paus.
Dalam homilinya, Bapa Suci mengajukan pertanyaan: “Mengapa Yesus mati di kayu Salib?”
“Kenapa dia melakukan ini? Dia bisa saja menyelamatkan hidupNya, bisa menjauh dari kesengsaraan dan kebrutalan sejarah manusia,” katanya.
“Sebaliknya, Dia memilih untuk masuk ke dalam sejarah itu, membenamkan diri di dalamnya. Itulah sebabnya Dia memilih jalan yang paling sulit: Salib. Sehingga tidak ada seorang pun di bumi yang begitu putus asa untuk tidak dapat menemukannya, bahkan di sana, di tengah penderitaan, kegelapan, pengabaian, skandal kesengsaraan dan kesalahannya sendiri.”
“Di sana, ke tempat yang kita pikir Tuhan tidak bisa hadir, di sanalah Dia datang. Untuk menyelamatkan mereka yang putus asa, Dia sendiri memilih untuk merasakan keputusasaan, menanggung penderitaan kita yang paling pahit, ”katanya.
“’Kita mewartakan Kristus yang disalibkan … kuasa Allah dan hikmat Allah.’ Jadi St Paulus memberitahu kita, tetapi dia tidak menyembunyikan fakta bahwa, dalam hal hikmat manusia, Salib tampak sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda, sebuah skandal dan kebodohan,” kata paus.
“Salib adalah alat kematian, namun ia menjadi sumber kehidupan. Salib adalah pemandangan yang mengerikan, namun mengungkapkan kepada kita keindahan kasih Tuhan. Itulah sebabnya, dalam pesta hari ini, umat Allah memuliakan Salib dan dirayakan dalam Liturgi.”
Gereja Katolik menandai hari raya Peninggian Salib Suci pada 13 September. Perayaan itu dimulai pada abad ke-4, ketika dedikasi Gereja Makam Suci berlangsung pada 13 September 335, di lokasi penyaliban Kristus di Yerusalem.
“Kita bisa gagal untuk menerima Tuhan yang lemah dan tersalib, kecuali mungkin dengan kata-kata, dan lebih memilih untuk memimpikan Tuhan yang berkuasa dan menang. Ini adalah godaan besar,” kata Paus Fransiskus.
“Seberapa sering kita merindukan kekristenan sebagai pemenang, kekristenan yang menjadi juara, yang penting dan berpengaruh, yang menerima kemuliaan dan kehormatan? Namun kekristenan tanpa salib adalah kekristenan duniawi, dan memperlihatkan dirinya tidak tersentuh.”