Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Commentary (Bahasa) Kebebasan pers di Filipina diserang

Kebebasan pers di Filipina diserang

Dalam pidatonya kepada Asosiasi Pers Asing di Vatikan pada Mei tahun lalu, Paus Fransiskus menegaskan: “Kebebasan pers dan ekspresi merupakan indikator penting apakah sebuah negara itu sehat atau tidak. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu hal pertama yang dilakukan rejim diktator adalah menghilangkan kebebasan pers atau menyembunyikannya, tidak membiarkannya bebas.”

Saya ingat kata-kata paus mengingat perkembangan terakhir di Filipina, di mana dorongan politik saat ini tampaknya lebih  bersemangat untuk mengesampingkan salah satu kebebasan mendasar yang diabadikan dalam Konstitusi 1987. Di sana, dikatakan dengan sangat jelas: “Tidak ada hukum yang disahkan yang mengekang kebebasan berbicara, berekspresi, pers, tentang hak untuk berkumpul secara damai dan mengajukan petisi kepada pemerintah untuk memperbaiki keluhan.”

Penutupan mendadak konglomerat media ABS-CBN setelah ijin beroperasi selama 25 tahun berakhir pada 4 Mei, menggarisbawahi apa yang menurut saya merupakan pola yang berbeda untuk merusak kebebasan pers dengan segala cara yang diperlukan.




Pada bulan Maret, sebuah sidang Senat tentang masalah ini mendengarkan janji dari oleh kepala Komisi Telekomunikasi Nasional (NTC), bahwa mereka pasti akan mengeluarkan ijin sementara untuk ABS-CBN setelah waralaba berakhir pada tanggal 4 Mei.

Janji tersebut, bersama dengan jaminan yang sama dari para pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat bahwa mereka akan mengeluarkan resolusi terpisah yang mendesak NTC untuk mengeluarkan otoritas sementara saat pembaruan waralaba masih belum jelas, adalah sesuatu yang membuat ABS-CBN yakin bahwa tidak akan ada lagi masalah dengan pembaruan waralaba mereka.

Namun pada sore hari 5 Mei, atau sehari setelah waralaba ABS-CBN berakhir, seperti disambar petir, NTC mengeluarkan perintah penghentian operasi jaringan media itu. Perintah NTC muncul menyusul peringatan dari Kantor Pengacara Umum (OSG) bahwa para pejabat akan ditampar dengan tuduhan korupsi jika mereka mengeluarkan perintah sementara yang memungkinkan jaringan media itu beroperasi meskipun ijin sudah berakhir.

Singkatnya, departemen eksekutif, melalui NTC dan OSG, bersekongkol melawan media itu, sehingga operasi ABS-CBN berhenti sampai Kongres memutuskan untuk memperbarui ijinnya.

- Newsletter -

Ketika Kongres melakukan itu, tidak ada yang tahu, kecuali mungkin presiden yang memegang semua tuas kekuasaan di negara itu.

Semua ini terjadi pada saat seluruh negara disibukkan dengan upaya menangani pandemi COVID-19 yang telah menginfeksi lebih dari 10.000 orang Filipina dan merenggut lebih dari 700 jiwa pada saat ini.

Kegagalan pemerintah pusat untuk mempertahankan kebebasan pers sangat terbukti dalam serangan yang berkelanjutan terhadap jurnalis  baik media cetak maupun penyiaran. Sejauh ini, 16 wartawan telah tewas secara misterius di berbagai bagian negara itu. Kita belum pernah mendengar satupun tersangka atau dalang yang diadili atau dihukum.

Lalu sekarang hukum yang ada dijadikan senjata  untuk membawa Rappler, sebuah jaringan berita online, untuk bertahan melalui berbagai cara. Pemimpin redaksi Rappler, yang diakui Time Magazine sebagai salah satu pembela kebebasan pers yang paling setia di dunia saat ini, menghadapi banyak kasus pencemaran nama baik karena sikapnya menentang perang berdarah pemerintah atas narkoba. Rappler juga berada di bawah pengawasan oleh pemerintah atas dugaan pelanggaran hukum mengenai kepemilikannya.

Kebebasan pers adalah landasan sistem demokrasi kita. Memanfaatkan hukum untuk melumpuhkan perbedaan pendapat dan opini yang bertentangan mengikis fondasi sistem demokrasi kita.

Paus Fransiskus telah meyakinkan para jurnalis: “Gereja ada di pihak Anda … Apakah Anda seorang Kristen atau tidak, Anda akan selalu mendapatkan penghargaan yang adil atas pekerjaan Anda dan pengakuan kebebasan pers dalam gereja …. Kami membutuhkan jurnalis yang berada di pihak para korban, pada pihak yang dianiaya, yang dikecualikan, disingkirkan, dan didiskriminasi.”

Ernesto M. Hilario menulis tentang masalah keadilan politik dan sosial untuk berbagai publikasi di Filipina. Pandangan dan pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial resmi LiCAS.news.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest