Beberapa tahun lalu menjual ikan dipilihnya untuk membantu umat membangun gereja mereka. Sekarang, dia melakukannya lagi untuk membantu warga miskin di parokinya.
Dia adalah Pastor Joel Silagpo, pastor paroki San Antonio de Padua di desa Santa Clara di pulau Basilan, Filipina selatan.
Orang-orang miskin di Basilan, yang sebagian besar adalah nelayan dan petani Muslim, sangat terpukul akibat penutupan akses selama pandemi virus corona di daerah-daerah sekitar.
Akibatnya mereka tidak bisa menjual barang dan membeli persediaan di kota terdekat, Kota Zamboanga, di seberang lautan.
“Jika tidak ada barang mengalir dari Zamboanga, bagaimana kita makan?” kata Pastor Silagpo, seorang pastor paroki di pulau yang mayoritas penduduknya Muslim itu.
Melalui kerja sama warga, paroki Santa Clara akhirnya bisa menyediakan barang-barang bantuan kepada yang warga paling miskin di kota itu.
“Kami membagikan dua putaran paket bantuan,” kata imam itu. “Tapi sepertinya krisis ini belum ada tanda-tanda akan berakhir,” katanya.
Pastor Silagpo khawatir bahwa paroki itu mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan warga.
Dia melihat bahwa kios yang dia bangun di luar halaman paroki untuk menjual ikan beberapa tahun yang lalu masih berdiri.
“Mengapa tidak menjual ikan lagi?” katanya pada dirinya sendiri. “Saya pernah melakukannya sekali. Kenapa tidak melakukannya lagi? ” katanya.
Pada 2017, dengan hanya punya US $ 2.000, imam itu bermimpi membangun sebuah gereja untuk menggantikan gereja yang terbuat dari kayu yang dibangun pada 1980.
Namun, sebuah gereja baru akan menelan biaya paroki sekitar US $ 180.000.
“Itu hampir mustahil,” kata pastor itu. Paroki mengajukan permohonan pinjaman, tetapi tetap saja itu tidak cukup. Kemudian pastor itu punya ide: menjual ikan. Orang-orang, termasuk anggota dewan paroki, menertawakan ide itu.
“Seorang imam menjual ikan seperti orang biasa?” kata orang-orang setengah tidak percaya.
“Tetapi saya katakan kepada mereka, saya bisa berkorban untuk gereja karena gereja kami sudah lapuk,” kata Pastor Silagpo kepada mereka.
Dia mengatakan dia harus melakukannya atau para pekerja tidak akan mendapat gaji.
Para pemimpin paroki akhirnya mengizinkan imam itu meminjam sekitar US $ 120 sebagai modal untuk bisnis ikannya.
“Saya membeli marlin biru besar dan meminta salah satu staf paroki untuk mengambil foto saya dan mempostingnya di media sosial,” kenang Pastor Silagpo.
Foto itu menjadi viral dan, orang-orang mulai pergi ke gereja untuk membeli ikan dan imam itu mulai menerima sumbangan bahkan dari luar negeri.
Setelah seminggu, Pastor Silagpo mampu mengembalikan pinjaman. Dia sudah menghasilkan hingga US $ 70 sehari. Setelah sebulan, dia bisa mengumpulkan sekitar US $ 400.
Dua tahun kemudian, impian umat beriman untuk memiliki gereja baru menjadi kenyataan.
“Saya kemudian berhenti menjual ikan. Saya merasa bahwa tidak adil bagi pedagang ikan lainnya jika saya melanjutkannya,” katanya.
Namun, dengan pandemi ini, Pastor Silagpo terpaksa kembali berjualan.
“Krisis mungkin membawa budaya ketergantungan pada donasi, jadi saya menantang orang-orang agar banyak akal,” katanya.
Dia mulai menanam sayur bersama warga, perlahan-lahan mengisi lahan kosong dengan tanaman. Dan tentu saja, ia kembali menjadi pedagang ikan.
“Itu pekerjaan yang layak,” kata Pastor Silagpo. “Bau dan kesulitannya tidak seberapa asalkan bisa memenuhi target,” katanya.
Selama tiga hari seminggu, sang pastor menyewa sebuah sepeda motor untuk menempuh jarak 32 km ke pelabuhan di sisi lain pulau itu untuk membeli ikan dari temannya bernama Ali, seorang Muslim, yang memberinya “harga yang bagus.”
“Ali tidak tahu mengapa saya menjual ikan. Saya belum memberitahunya. Tetapi setiap kali dia memberi saya harga khusus untuk ikan itu, dia juga turut membantu orang lain, ”katanya.
Imam itu mengakui dia menikmati apa yang dia lakukan, termasuk persahabatannya dengan kaum Muslim.
Suatu kali, seorang wanita Muslim mendekatinya dan mengatakan kepadanya bahwa ini adalah pertama kalinya seorang Kristen “memasuki dunia mereka.”
“Terus terang, kita tidak bisa menyangkal bias Kristen terhadap Muslim di pulau itu,” kata Pastor Silagpo. Dia mengatakan beberapa orang Kristen bahkan tidak mau menerima makanan yang ditawarkan oleh umat Islam.
Imam itu mengatakan bahwa dengan aktivitas penjual ikannya, ia dapat membentuk “hubungan khusus” dengan komunitas Muslim.
“Kami tidak berbicara tentang agama, tentang Tuhan, tentang surga atau neraka. Kami bermain bola basket dan berbicara tentang kehidupan, sesekali tentang keuntungan dan kerugian kami, ”katanya.
“Saya bersyukur atas persahabatan yang telah kami jalin melalui penjualan ikan. Saya pikir saya memiliki lebih banyak teman Muslim sejati daripada teman Kristen, ”katanya.
Di pasar ikan, pastor itu akan membeli kopi dan roti untuk para pedagang, dan kadang-kadang memberikan paket bantuan. Sebagai balasan, warga Muslim akan memberinya makan siang.
“Tidak ada yang pernah menyangka bahwa melalui penjualan ikan saya akan dapat memecahkan hambatan dan mengadakan dialog antar-agama dengan umat Islam,” kata Pastor Silagpo.