Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Uskup Manila tantang pemerintah untuk menggugat pemimpin Gereja Katolik

Uskup Manila tantang pemerintah untuk menggugat pemimpin Gereja Katolik

Uskup Broderick Pabillo, administrator apostolik Keuskupan Agung Manila, menantang pemerintah Filipina untuk mengajukan tuntutan terhadap para uskup Katolik di negara itu.

Hal itu disampaikan prelatus itu pada 20 Juli sebagai reaksi terhadap pernyataan yang dibuat oleh pengacara Salvador Panelo, kepala penasihat hukum kepresidenan, yang menuduh para pemimpin gereja melanggar prinsip pemisahan antara gereja dan negara.

Konferensi Waligereja Katolik Filipina pada 19 Juli mengeluarkan surat pastoral yang mengkritik pengesahan undang-undang anti-terorisme baru Filipina.

Panelo menuduh para uskup menekan Mahkamah Agung untuk mengambil keputusan melawan hukum ketika mengeluarkan surat pastoral tersebut.




Dalam surat mereka, para pemimpin gereja mengatakan mereka “mendapat penghiburan” dari petisi yang diajukan ke Mahkamah Agung, mempertanyakan konstitusionalitas undang-undang anti-terorisme.

Panelo mengatakan bahwa para uskup telah menyatakan dukungannya terhadap petisi-petisi itu, dengan mengutip baris dalam surat yang berbunyi: “Akankah tingkat tertinggi kehakiman kita mempertahankan independensinya, atau akankah mereka juga menyerah pada tekanan politik?”

“Advokasi semacam itu, ditambah dengan seruannya kepada para pengikutnya yang setia untuk berdoa, secara efektif memberikan pengaruh atau tekanan keagamaan pada Mahkamah Agung untuk memutuskan melawan hukum nasional yang dirancang untuk memerangi kejahatan global terorisme dan untuk menjamin keselamatan rakyat Filipina,” kata Panelo dalam sebuah pernyataan.

- Newsletter -

Dia mengatakan bahwa surat para uskup “tampaknya telah melanggar” ketentuan konstitusional tentang pemisahan gereja dan negara.

Silahkan menggugat

“Jika itu benar-benar sebuah pelanggaran, silahkan mengajukan tuntutan terhadap kami. Kami menantang mereka, jika benar-benar ada pelanggaran,” balas Uskup Pabillo dalam pengarahan media secara online.

“Bukankah kita berhak berbicara tentang kegagalan pemerintah? Hanya karena kita berada di Gereja, kita tidak boleh berbicara? Kami juga warga negara,” kata uskup.

Para uskup Katolik Filipina menghadiri Misa pada saat Rapat Pleno ke 120 mereka pada bulan Januari. (Foto oleh Roy Lagarde)

Uskup Pablo Virgilio David dari Kalookan, penjabat sementara ketua konferensi para uskup, mengatakan doktrin konstitusional mengenai pemisahan kedua institusi itu hanya dilanggar jika Gereja berusaha untuk mendirikan negara, atau negara sedang berusaha mendirikan sebuah gereja.

“Kami tidak memiliki niat untuk membentuk pemerintahan. Itu bukan bidang keahlian kami,” kata Uskup David dalam sebuah pernyataan yang diunggah di media sosial.

“Kami hanya pemimpin spiritual dan satu-satunya pengaruh yang kami miliki adalah pengaruh agama, bukan pengaruh politik,” tambahnya.

Uskup David mengatakan para pemimpin gereja “tidak memiliki pengaruh politik atas peradilan negara itu, kami juga tidak ikut campur dalam roda pemerintahan.”

“Satu-satunya pengaruh kami adalah pada hati nurani, karena itu adalah tugas kami untuk membentuk hati nurani, dan kami bertanggung jawab kepada Tuhan untuk itu,” katanya.




Dia mengatakan bahwa sebagai warga negara Filipina, para uskup hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi warga negara.

“Apa yang kami harapkan dan doakan adalah agar legislatif dan kehakiman kita tetap benar-benar independen, dan terus berfungsi sebagaimana dirancang oleh Konstitusi kita,” kata Uskup David.

Narasi palsu’

Akan tetapi, penasihat hukum presiden mengatakan bahwa meskipun pernyataan para uskup tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip pemisahan gereja dan negara, namun itu mengikuti narasi palsu.

Panelo mengatakan surat para uskup itu menuduh bahwa undang-undang anti-terorisme itu melanggar Konstitusi, seperti memungkinkan penangkapan tanpa jaminan dan penyadapan para tersangka teroris,  memberikan efek mengerikan pada mereka yang menggunakan kebebasan berbicara, bahwa ada pola intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Kepala Penasihat Hukum Presiden Salvador Panelo. (Foto disediakan)

Panelo menyatakan bahwa petisi yang menentang undang-undang anti-terorisme yang diajukan kepada Mahkamah Agung harus dihentikan karena “sama sekali tidak pantas berdasarkan prosedur dan alasan substantif.”

Pengacara itu mengatakan para uskup harus mempercayai sistem peradilan Filipina, karena mengadopsi pola pikir yang berlawanan hanya akan merusak institusi hukum negara itu.

“[Konferensi Waligereja Katolik] menyamakan kami dengan pepatah katak yang berenang di dalam panci berisi air yang mendidih perlahan-lahan. Untuk edukasinya, kita telah berada dalam situasi yang jauh lebih buruk selama bertahun-tahun karena perlakuan baik yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau oleh pengaruh yang telah diterima dari pemerintah sebelumnya, ”kata Panelo.

“Pemerintahan saat ini telah keluar kita dari situasi ini melalui kemauan politik presiden dalam menegakkan hukum secara adil bagi semua orang, tidak ada satu pun, termasuk yang dikelola di masa lalu yang kebal terhadapnya atau tidak dapat disentuh,” katanya dalam sebuah pernyataan.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest