Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Warga suku di Mindanao tidak bisa belajar setelah sekolah ditutup pemerintah

Warga suku di Mindanao tidak bisa belajar setelah sekolah ditutup pemerintah

Saat jutaan siswa di Filipina mempersiapkan diri untuk memulai tahun ajaran baru bulan ini, sekitar 5.000 anak suku di Mindanao khawatir tidak bisa melanjutkan sekolah.

Pihak berwenang sebelumnya telah menutup 176 dari 216 sekolah bagi warga suku di Filipina selatan, sementara 40 sekolah lainnya terancam ditutup karena berbagai alasan.

Rius Valle, juru bicara Save Our Schools Network, mengecam hal yang dia gambarkan sebagai serangan berkelanjutan terhadap sekolah-sekolah suku, bahkan di tengah pandemi virus corona.

“Pemerintah berusaha menghapus seluruh pengetahuan, budaya, dan tradisi adat di wilayah suku yang berbeda,” kata Valle.


Pasukan keamanan negara itu menuduh sekolah masyarakat adat, yang sebagian besar terletak di desa pedalaman, sebagai tempat berkembang biaknya gerilyawan komunis.

Valle mengatakan, penutupan sekolah-sekolah ini saat pandemi berlangsung menjadi “beban” bagi banyak keluarga suku yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menyekolahkan anak mereka di dataran rendah.

Ia mengatakan sulit bagi siswa suku untuk belajar di sekolah yang tidak selaras dengan budaya dan kehidupan mereka. 

- Newsletter -

Tahun ajaran ini, Irene Bay-ao yang berusia 14 tahun akan secara resmi menjadi “remaja putus sekolah” setelah pemerintah menutup sekolahnya pada Oktober 2019.

Departemen Pendidikan menolak perpanjangan izin operasi 55 sekolah di bawah Salugpungan Tatanu Igkanugon Community Learning Center Inc. 

Lembaga itu dituduh oleh pemerintah mengajarkan “ideologi subversif”.

Penutupan sekolah tersebut berawal dari keluhan yang disampaikan oleh Penasihat Keamanan Nasional Hermogenes Esperon yang mengaitkan sekolah dengan pemberontak komunis.

Setelah insiden itu, Irene datang ke ibu kota Manila untuk bergabung dengan siswa suku yang terlantar untuk memohon kepada pemerintah nasional agar menghentikan serangan terhadap sekolah suku.

“Saya ingin melanjutkan belajar tetapi tanpa sekolah komunitas kami, saya tidak dapat mencapai itu,” katanya. “Saya berharap pemerintah akan mendengarkan, tetapi saya rasa mereka tidak dapat mendengar kami.”

Mahasiswa suku asal Mindanao yang terlantar diterima di kampus Universitas Santo Tomas di Manila pada tahun 2018. (Foto oleh Mark Saludes)

Di sisi lain, pandemi virus corona telah memaksa sistem pendidikan negara tersebut untuk mengadopsi langkah-langkah yang akan mengurangi interaksi tatap muka untuk mencegah penyebaran penyakit.

Departemen Pendidikan memperkenalkan “pembelajaran campuran”, yaiut penggunaan pengajaran online dan metode modular lainnya, untuk memungkinkan siswa dan guru tinggal di rumah.

“Jika bukan karena arogansi dan ketidaktahuan para pejabat pemerintah, negara bisa belajar dari sekolah-sekolah suku tentang bagaimana menangani situasi seperti ini,” kata Valle.

Valle mengatakan sebelum pandemi, sekolah suku telah membuat sistem yang dapat mencegah penyebaran penyakit apapun tanpa mengganggu rutinitas sekolah sehari-hari pada siswa.

Sekolah suku di Mindanao adalah “sekolah berasrama” yang memungkinkan siswanya tinggal di dalam kampus selama setahun penuh.

Sekolah juga menerapkan “kurikulum berbasis pertanian,” yang memungkinkan siswa dan guru menanam untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri.

Para siswa Pusat Pembelajaran Alternatif untuk Pertanian dan Pengembangan Mata Pencaharian di Mindanao menghabiskan setidaknya empat jam setiap hari untuk berkebun. (Foto oleh Mark Saludes)

Di provinsi Surigao, siswa sekolah menengah Pusat Pembelajaran Alternatif untuk Pertanian dan Pengembangan Mata Pencaharian menghabiskan setidaknya empat jam setiap hari untuk bertani.

Valle mengatakan sekolah suku memiliki sistem yang melindungi siswa dan guru dari komunitas dataran rendah tempat penyakit menular biasanya berasal.

“Pernahkah kita mendengar masyarakat adat yang tertular Covid-19 dan mencatat kematian akibat penyakit tersebut? Tidak ada, kan? ” kata Valle.

Dia mengatakan komunitas suku, termasuk sekolah, telah mengembangkan “pengetahuan dan praktik komunal” tentang bagaimana mengatasi masalah tersebut.

Menurut Valle, masyarakat adat dapat bertahan dari pandemi karena tanah leluhur mereka “menyediakan semua yang mereka butuhkan, termasuk perlindungan dari unsur-unsur berbahaya dari dataran rendah”.

“Negara bisa belajar ‘jarak fisik’ yang benar dari masyarakat adat,” katanya.

“Kami menjaga jarak dengan orang-orang dan hal-hal yang membahayakan kami dan tanah leluhur kami,” kata Valle.

Sayangnya, Valle dan sekitar 80 siswa suku terpaksa tinggal di Manila akibat lockdown.

“Saya datang ke sini dengan 80 siswa suku. Saya tidak ingin kembali ke Mindanao dengan 80 remaja putus sekolah, ”katanya.

“Kami membutuhkan dukungan masyarakat luas untuk menekan pemerintah dan mengizinkan sekolah suku untuk dibuka kembali dan melayani kepentingan komunitas adat,” kata Valle.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest