Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Kardinal Bo serukan 'satu militer' saat kelompok bertikai bahas genjatan senjata

Kardinal Bo serukan ‘satu militer’ saat kelompok bertikai bahas genjatan senjata

Kardinal Charles Maung Bo asal Myanmar menyerukan perdamaian dan persatuan saat angkatan bersenjata negara itu dan kelompok bersenjata etnis yang bertikai mengadakan pertemuan bilateral untuk membahas gencatan senjata nasional.

“Tidak ada jalan lain selain dialog,” kata prelatus itu dalam sebuah pernyataan untuk Sesi ke-4 Konferensi Perdamaian Persatuan pada 15 Agustus.

Konferensi Perdamaian Persatuan adalah konferensi tripartit yang melibatkan pemerintah, organisasi etnis bersenjata, dan partai politik negara itu.

Pihak penyelenggara mengumumkan bahwa militer dan kelompok bersenjata telah sepakat untuk bertemu secara individu untuk membicarakan pengerahan pasukan dan batas-batas wilayah yang diusulkan dalam gencatan senjata.




Ketidaksepakatan mengenai penempatan pasukan dan batas-batas wilayah telah menyebabkan konflik pada masa lalu antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar, yang telah mengakibatkan bentrokan bersenjata.

“Satu militer, satu angkatan bersenjata, sudah cukup di negara mana pun, sebuah militer yang bekerja untuk keadilan dan perdamaian, militer yang mencakup semua kelompok etnis, tanpa diskriminasi apapun, ”kata Kardinal Bo.

Pemimpin Gereja Katolik itu mengatakan bahwa militer “secara bertahap harus berada di bawah otoritas presiden terpilih yang bertanggung jawab secara demokratis.”

- Newsletter -

“Sebuah negara berhak mempersenjatai diri, dan menggunakan angkatan bersenjatanya untuk pertahanan, tetapi senjata terbesar demokrasi adalah alat-alat rekonsiliasi dan keadilan,” kata kardinal.

Dia mengatakan dialog “mengalir dari hati dan pikiran yang terbuka, dari hasrat akan kebenaran yang tanpanya masyarakat hancur.”

Kardinal Bo memperingatkan pertemuan itu bahwa solusi militer atas masalah adalah “kontraproduktif” dan harus “ditinggalkan demi kerja sama, peradaban, dan kecerdasan.”

A file image of General Saw Mutu Say Poe, chairman of the Karen National Union (left), Cardinal Charles Maung Bo and Vice Senior General Soe Win pose for a group photo during the meeting of the advisory forum on national reconciliation and peace in Myanmar in capital Naypyidaw on Nov. 21, 2018. (Photo by Thet Aung/AFP)

Konferensi Panglong pertama diadakan di wilayah Panglong di Burma pada tahun 1947, dan dirundingkan antara Aung San dan para pemimpin etnis.

Pada tahun 2016, Konferensi Perdamaian – Panglong Abad 21diadakan dari tanggal 31 Agustus hingga 4 September di Naypyidaw, Myanmar, dan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon.

Pemerintah berencana mengadakan konferensi serupa setiap tahun sampai gencatan senjata permanen dan perjanjian perdamaian disusun.

Dalam pesannya untuk pertemuan tahun ini, Kardinal Bo mengingatkan para peserta bahwa pertemuan tersebut harus menghormati perjuangan Aung San dan para pejuang “yang memimpikan negara baru yang bersatu setelah runtuhnya invasi dan kolonialisme.”

“Visi mereka adalah membangun di atas perbedaan yang subur dan yang memberi kehidupan bagi kita, dan membentuk bangsa yang bangga dan bersatu,” kata Kardinal Bo.

“Kita menghormati pengorbanan mereka yang dengan rendah hati berkomitmen bagi bangsa,” tambahnya.

Dia mengatakan pembunuhan terhadap Aung San dan rekan-rekannya 73 tahun yang lalu “menandai awal dari perpecahan selama beberapa dekade, konflik dan kegelapan bagi rakyat kita”.

“Tindakan pengkhianatan itu memulai zaman tanpa belas kasihan di mana saudara dan saudari diadudomba satu sama lain,” kata kardinal. “Kita menangisi kehilangan kita sebagai bangsa,” tambahnya.




Namun, pemimpin Gereja Katolik itu mengungkapkan optimisme bahwa rakyat Myanmar “dapat mengubah sejarah pengkhianatan ini”.

Dia mengatakan pandemi COVID-19 “memperlihatkan kebodohan dari konflik yang terus berlanjut” karena virus ini “hanya akan diatasi melalui persatuan.”

Kardinal Bo sebelumnya menggemakan seruan Paus Fransiskus dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri semua konflik sehingga musuh bersama yang lebih besar dikalahkan.

“Melalui persatuan kita akan membangun kembali bangsa kita setelah kehancuran sosial-ekonomi, lingkungan dan medis dari pandemi global,” kata kardinal.

“Kita semua hancur karena perang. Tidak ada yang menang. Satu-satunya jalan adalah perdamaian. Dengan perdamaian, umat manusia menang, ”katanya.

Tahun lalu, proses perdamaian dan konferensi Panglong keempat ditunda karena tidak ada kesepakatan yang menyebabkan Persatuan Nasional Karen dan Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan menunda keanggotaan mereka.

Panglong keempat bertujuan untuk mendapatkan solusi berkelanjutan atas konflik selama puluhan tahun antara berbagai kelompok etnis bersenjata dan pemerintah Myanmar.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest