Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Pemimpin gereja Filipina tolak rencana ulang tahun Marcos dijadikan hari libur

Pemimpin gereja Filipina tolak rencana ulang tahun Marcos dijadikan hari libur

Para pemimpin Gereja di Filipina telah menyatakan penolakan mereka terhadap usulan Kongres negara itu untuk menyatakan hari kelahiran mantan diktator Ferdinand Marcos sebagai hari libur.

Setidaknya 197 anggota DPR memberikan suara pada 2 September untuk menyatakan 11 September sebagai “Hari Presiden Ferdinand Edralin Marcos” di wilayah Ilocos.

Hanya sembilan yang menolak proposal itu dan satu abstain




Uskup Balanga Mgr Ruperto Santos mengatakan langkah itu “tidak akan pernah menyatukan warga kita dan tidak akan pernah menyembuhkan rasa sakit dan rasa malu akibat darurat militer.”

Marcos memberlakukan darurat militer di negara itu dari tahun 1972 hingga 1981 untuk menekan pertikaian sipil yang meningkat dan ancaman pengambilalihan oleh komunis.

Itu menjadi permulaan dari pemerintahan yang dikuasai oleh satu orang selama 14 tahun, yang secara efektif berlangsung sampai Marcos diasingkan dari negara itu pada 25 Februari 1986.

Meskipun pengumuman pencabutannya secara resmi pada 17 Januari 1981, Marcos mempertahankan hampir semua kekuasaannya sebagai diktator sampai dia digulingkan oleh Revolusi EDSA. 

- Newsletter -

Uskup Santos mengatakan Kongres seharusnya fokus pada penemuan kekayaan tersembunyi mantan diktator itu, pengembalian uang kepada rakyat, dan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia selama tahun-tahun darurat militer, bukannya malah mengumumkan hari libur.

“Penguburannya secara pahlawan sangat dipertanyakan dan telah memecah belah rakyat kita. Ada begitu banyak hal yang harus diselesaikan sebelum menyatakan 11 September sebagai hari libur,” kata Uskup Santos.

Philippine President Ferdinand Marcos, March 11, 1985. (Photo by Romeo Gacad/AFP)

Uskup Felixberto Calang dari Gereja Independen Filipina mengatakan bahwa dengan proposal itu Kongres Filipina menjadi “benteng dari geng yang bangkrut secara moral.”

Prelatus itu mengatakan para legislator memutarbalikkan fakta  karena Marcos “dinilai secara internasional” sebagai pelanggar hak asasi manusia.

“[Dia] seharusnya tidak ditempatkan pada posisi yang sama di antara para pahlawan. Negara tidak boleh mengumumkan hari libur untuk orang yang tidak berperikemanusiaan,” kata Uskup Calang.

Pada 2016, Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan agar jenazah Marcos dimakamkan di Pemakaman Pahlawan meskipun mendapat penolakan kuat dari kelompok sipil dan hak asasi manusia.

Uskup Arturo Bastes, mantan uskup Sorsogon, mengatakan rencana untuk merayakan kelahiran seorang diktator dengan hari libur bertentangan dengan semangat Pemberontakan Kekuatan Rakyat tahun 1986.

“Ini merupakan penghinaan bagi rakyat Filipina yang mendapatkan kehormatan dan penghormatan dari komunitas internasional karena telah berhasil mengusir seorang diktator terkenal tanpa pertumpahan darah,” katanya.




Pemberontakan Kekuatan Rakyat 1986, juga dikenal sebagai Revolusi EDSA, adalah serangkaian demonstrasi dari 22 hingga 25 Februari yang menyebabkan berakhirnya rezim 20 tahun Marcos.

Prelatus pensiunan itu mengatakan Kongres “tidak boleh menghormati ‘Hitler’ dengan hari libur.”

Pada 2017, Durterte mengeluarkan Proklamasi 310 yang menyatakan 11 September sebagai hari libur khusus non-kerja di Ilocos Norte untuk memperingati ulang tahun kelahiran Marcos.

Dalam sebuah pernyataan, kelompok hak asasi manusia Karapatan mengatakan undang-undang yang diusulkan itu “berusaha menghilangkan bau busuk seorang pembunuh, penjarah, dan penjahat.”

“Ini adalah aib besar dalam mengenang para korban darurat militer dan yang selamat, yang telah berkali-kali dilanggar oleh kediktatoran Marcos,” kata Cristina Palabay, sekretaris jenderal kelompok itu.

Student-led protests on Sept. 18, 2016 against the burial of former ousted dictator Ferdinand Marcos at the Cemetery for Heroes in Quezon City, Metro Manila, Philippines. (Photo by Marloujoe/shutterstock.com photo)

Palabay menggambarkan langkah itu sebagai “skema jahat untuk menutupi” dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan yang dilakukan oleh mendiang diktator itu.

Dia mengatakan langkah yang diusulkan “secara langsung bertentangan dengan maksud dan semangat” undang-undang yang disahkan pada tahun 2012 yang “mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di bawah rezim Marcos dan memberikan reparasi bagi para korban.”

Berdasarkan catatan sejarah dan dokumentasi dari berbagai organisasi hak asasi manusia, setidaknya ada 3.257 pembunuhan di luar hukum yang diketahui, 35.000 penyiksaan yang terdokumentasi, puluhan penghilangan paksa, dan 70.000 penahanan selama rezim Marcos.

Palabay mengatakan penguburan Marcos di Makam Pahlawan dan undang-undang yang diusulkan untuk mendeklarasikan hari ulang tahunnya sebagai hari libur adalah upaya “rehabilitasi politik dari warisan berdarah Marcos.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest