Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Kelompok HAM global sebut pemilu Myanmar penuh dengan masalah

Kelompok HAM global sebut pemilu Myanmar penuh dengan masalah

Kelompok hak asasi internasional mengatakan proses pemilihan umum di Myanmar dirusak oleh masalah sistemik dan berbagai pelanggaran yang akan merampas hak warga untuk memilih pemerintah mereka secara adil.

Human Rights Watch mengatakan bahwa Myanmar memiliki berbagai masalah fundamental yang akan mempengaruhi pemilihan parlemen, negara bagian, dan lokal yang dijadwalkan pada 8 November.

“Merupakan tonggak penting bagi Myanmar untuk mengadakan pemilu multipartai kedua, tetapi berapapun panjangnya antrean para pemilih, pemilu ini akan cacat secara fundamental,” kata Brad Adams, direktur HRW Asia.




“Pemilu tidak bisa bebas dan adil selama seperempat kursi dicadangkan untuk militer, akses media dibatasi, kritik terhadap pemerintah menghadapi sensor atau penangkapan, dan warga Rohingya ditolak untuk berpartisipasi dalam pemungutan suara,” kata Adams.

Pemilu nasional tahun ini akan menjadi yang pertama di Myanmar sejak 2015, yang menghasilkan kemenangan telak bagi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dan pemilu kedua yang diperebutkan sejak 1990, ketika militer membatalkan kemenangan luar biasa NLD.

Meskipun baru-baru ini ada lonjakan kasus COVID-19 di negara itu, otoritas pemilu mengatakan pemilihan akan berlangsung sesuai jadwal. Banyak partai oposisi mengatakan bahwa pemerintah harus menunda pemungutan suara karena mereka tidak dapat berkampanye dalam keadaan saat ini.

HRW mengatakan bahwa karena peningkatan kasus COVID-19, pihak berwenang telah mengeluarkan perintah tinggal di rumah di ibu kota komersial, Yangon, dan sebagian Mandalay, Negara Bagian Rakhine, Negara Bagian Mon, Bago, Ayeyarwaddy, dan di tempat lain. Hanya orang yang terlibat dalam bisnis “penting” yang diizinkan melakukan perjalanan antar kota di daerah yang terkena dampak.

Medical staff wearing protective suits work at a quarantine center amid the COVID-19 outbreak in Yangon, Myanmar, Oct. 5. (Photo by Shwe Paw Mya Tin/Reuters)
- Newsletter -

Pada 20 September, pemerintah menyatakan jurnalisme sebagai bisnis yang tidak penting, membuat banyak jurnalis tunduk pada perintah tinggal di rumah dan menciptakan hambatan yang signifikan untuk perjalanan mereka untuk acara-acara terkait pemilu dan hambatan bagi penerbit media.

Banyak media terkenal yang berhenti menjual surat kabar, sedangkan dua surat kabar milik negara yang mendukung pemerintah itu bisa terus mencetak.

“Pemerintah NLD, yang menderita di bawah penindasan militer selama beberapa dekade, harus mengakui bahwa pemilu tanpa kebebasan media tidaklah adil,” kata Adams. “Pemerintah harus membalikkan keputusannya dan menyatakan pekerja media ‘penting’.”

Rohingya tidak boleh ikut pemilu

Pemerintah Myanmar menggunakan Undang-undang Kewarganegaraan 1982 yang diskriminatif dan Undang-Undang Pemilu untuk mencabut hak warga Rohingya dan mencegah mereka mencalonkan diri, meskipun sebagian besar keluarga Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, kata Human Rights Watch.

Banyak orang Rohingya berharap setelah pemilu 2015, pemimpin NLD Aung San Suu Kyi akan mengubah undang-undang dan kebijakan ini. Sebaliknya, NLD mendukung militer saat melakukan pembersihan etnis, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kemungkinan genosida terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

Tidak satu pun dari satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh dan ratusan ribu lainnya yang tersebar di negara lain akan diizinkan untuk memilih.

Members of Myanmar’s Muslim Rohingya minority enter Teknaf in Cox’s Bazar, Bangladesh on Sept. 11, 2017. (Photo by Sk Hasan Ali/shutterstock.com)

Pihak berwenang telah melarang sebagian besar Rohingya yang tersisa di Myanmar, diperkirakan 600.000, untuk mendaftar untuk memberikan suara dalam pemilihan. Ini termasuk sekitar 130.000 Rohingya yang ditahan di kamp-kamp di negara bagian Rakhine tengah sejak 2012.

“Mengerikan sekali bahwa Aung San Suu Kyi bertekad untuk mengadakan pemilihan yang mengecualikan pemilih dan kandidat dari Rohingya,” kata Adams.

Masalah-masalah utama

HRW mengatakan bahwa banyak elemen yang diakui secara internasional untuk pemilu yang bebas dan adil menghilang dari proses pemilu Myanmar.

Standar internasional mencakup hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul secara damai, dan bergerak, partisipasi kandidat dan pemilih dalam lingkungan yang bebas dari kekerasan, ancaman, dan intimidasi, hak pilih universal dan setara, hak untuk mencalonkan diri, hak untuk memilih dan memberikan suara rahasia, dan kebebasan dari diskriminasi.




HRW juga menunjukkan bagaimana pembatasan internet yang diberlakukan oleh pemerintah di Rakhine dan Chin States akan berdampak serius pada kemampuan pemilih di daerah yang terkena dampak untuk mengakses informasi tentang kandidat, partai, dan posisi mereka.

Demikian pula, konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan kelompok etnis bersenjata di beberapa wilayah memperumit perencanaan, kampanye, dan kemungkinan pemilu yang bebas dan adil di banyak daerah.

Pertempuran yang melibatkan Tentara Arakan, kelompok bersenjata etnis Rakhine, telah mencegah komisi pemilihan umum untuk mempublikasi daftar pemilih di beberapa daerah di seluruh Negara Bagian Rakhine. Banyak infrastruktur administratif yang diperlukan untuk melaksanakan pemilu yang bebas dan aman telah ditiadakan selama hampir dua tahun pertempuran yang terus menerus.

HRW mengatakan bahwa konflik bersenjata selama beberapa dekade telah menyebabkan lebih dari 230.000 orang tinggal di kamp pengungsian untuk jangka panjang di seluruh negera itu dan ratusan ribu lainnya hidup sebagai pengungsi di seberang perbatasan Myanmar.

Staf medis mengenakan pakaian pelindung saat bekerja di pusat karantina COVID-19 di Yangon, Myanmar, 5 Oktober. (Foto oleh Shwe Paw Mya Tin/Reuters)

Menurut perkiraan kelompok setempat, ada 200.000 lagi yang telah terlantar sejak Januari 2019 karena pertempuran di Rakhine dan Chin States. Aturan pemilu mewajibkan para migran internal untuk memberikan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah tinggal di tempat tinggal saat ini minimal selama 90 hari. Ini akan mempengaruhi partisipasi banyak umat Buddha Rakhine, Chin, dan Mro.

Orang-orang di sebagian negara bagian Kachin, Karen, dan Shan kemungkinan besar tidak dapat memberikan suara. Tidak ada pemungutan suara yang akan dilakukan di daerah otonomi Negara Bagian Wa.

Tuntutan pidana jika mengkritik

HRW mengatakan bahwa puluhan siswa telah didakwa atau ditangkap karena pelanggaran yang dapat dihukum hingga dua tahun penjara setelah mereka membagikan pamflet dan stiker yang menuntut diakhirinya pertempuran di Negara Bagian Rakhine dan pencabutan segera atas pembatasan internet.

Anggota Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma mengatakan bahwa pihak berwenang menutut mahasiswa dengan pasal 505 (b) KUHP, sementara yang lain dituntut karena tidak memberikan pemberitahuan tentang protes.

Pasal 505 (b) KUHP terlalu luas, melarang ucapan yang dapat menyebabkan “ketakutan atau kekhawatiran di depan umum” dan mengarahkan orang lain untuk “mengganggu ketenangan publik”. UU ini telah lama digunakan untuk menentang ujaran yang mengkritik pemerintah.

Warga Muslim Rohingya Myanmar memasuki Teknaf di Cox’s Bazar, Bangladesh pada 11 September 2017. (Foto oleh Sk Hasan Ali / shutterstock.com)

Pembatasan kebebasan media

Pada bulan Juli, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan bahwa partai politik akan diizinkan untuk menyampaikan pidato pemilu dan menjelaskan kebijakan partai di televisi dan stasiun radio milik negara selama periode dua bulan menjelang pemungutan suara. Namun, HRW mengatakan bahwa komisi tersebut harus menyetujui semua siaran politik terlebih dahulu di bawah batasan yang terlalu luas dan tidak jelas tentang apa yang boleh dikatakan oleh partai politik, yang melanggar standar internasional untuk kebebasan berbicara.

Pemerintah NLD telah menggunakan media pemerintah secara teratur untuk mempromosikan kebijakannya dan dianggap berhasil, sementara pihak lain masing-masing diberi satu kesempatan untuk meluncurkan platform mereka di media penyiaran milik negara. Pada saat yang sama, setidaknya empat partai membatalkan siaran pidato kampanyenya di media pemerintah yang mereka anggap sebagai sensor atas pidato mereka.

Pada bulan September, ketua komisi pemilihan umum, Hla Thein, mengatakan dia mengakui peran penting jurnalis dan media agar pemilu bebas, transparan, dan kredibel. Namun, penganiayaan terhadap jurnalis dan media etnis terus berlanjut.




Pemerintah juga mengeluarkan arahan kepada penyedia layanan internet untuk memblokir sejumlah outlet berita etnis, yang mereka klaim karena masalah keamanan nasional dan publikasi “berita palsu.”

Pada Agustus, pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk memblokir situs web Justice for Myanmar, milik sekelompok aktivis yang bekerja untuk mengungkap korupsi dalam tubuh militer, mengklaim bahwa situs itu menerbitkan “berita palsu”.

Konstitusi yang tidak demokratis

HRW mengatakan bahwa di bawah konstitusi Myanmar tahun 2008, yang diundangkan oleh militer setelah referendum yang diadakan untuk memastikan perlindungan kepentingan militer, hanya 75 persen kursi di parlemen Myanmar yang siap untuk pemilihan, sementara 25 persen kursi di majelis tinggi dan rendah dicadangkan untuk melayani orang yang diangkat militer.

Partai mana pun yang tidak berafiliasi dengan militer harus memenangkan dua pertiga kursi yang tersisa untuk menjadi mayoritas di parlemen, sementara partai yang berafiliasi dengan militer perlu memenangkan lebih dari sepertiga kursi untuk memperoleh mayoritas yang efektif.

Seorang polisi Myanmar berpose untuk berfoto di Maungdaw, Rakhine, 9 Juli 2019. (Foto oleh Ann Wang / Reuters)

Dalam kemenangan telaknya tahun 2015, NLD mengambil 86 persen dari semua kursi yang memenuhi syarat di majelis rendah parlemen. NLD berkampanye dengan platform reformasi konstitusi.

Akan tetapi ia tidak dapat mengamandemen konstitusi tanpa suara dari 25 persen anggota parlemen yang ditunjuk oleh militer, karena konstitusi mensyaratkan 75 persen suara untuk mengubah piagam tersebut. Upaya-upaya sejak saat itu untuk mencabut hak veto militer telah gagal, kata HRW.

Kelompok hak asasi itu mengatakan bahwa untuk menolak Aung San Suu Kyi dari kursi kepresidenan, militer memasukkan ketentuan dalam konstitusi bahwa presiden tidak boleh memiliki pasangan atau anak yang memiliki kewarganegaraan asing.

Kedua putra Suu Kyi memegang paspor asing. Suu Kyi mencoba mencari alternatif setelah pemilu 2015 dengan membuat kantor baru Penasihat Negara, yang dia isi, tetapi dia tetap dilarang dari kursi kepresidenan.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest