Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Korea Selatan siap menerapkan undang-undang aborsi baru

Korea Selatan siap menerapkan undang-undang aborsi baru

Pemerintah Korea Selatan telah mengusulkan untuk tidak mengkriminalisasi aborsi dan memutuskan untuk memberikan hak kepada perempuan untuk mengakhiri kehamilan dalam jangka waktu 14 minggu.

Pada 7 Oktober, Kementerian Kehakiman Korea Selatan mengumumkan bahwa pemerintah akan meninjau dan mengadopsi tindakan yang diusulkan.

Penghentian kehamilan juga dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 minggu dalam kasus cacat lahir yang parah, kejahatan seks, atau risiko kesehatan bagi ibu.




Masyarakat diberi waktu 40 hari untuk menyampaikan pendapat mereka tentang amandemen yang diusulkan sebelum RUU tersebut dikirim ke Majelis Nasional untuk disetujui.

Konferensi Waligereja Korea sebelumnya mengeluarkan pernyataan yang menentang keputusan Kementerian Kehakiman, yang mengatakan bahwa anak-anak harus dilindungi “sejak saat pembuahan.”

“Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kehidupan semua orang,” kata Pastor Hugo Park Jung-woo, sekretaris jenderal Komite Kehidupan Keuskupan Agung Seoul.

Dalam sebuah laporan Catholic News Agency, imam itu mengatakan orang Korea dapat membuat undang-undang baru atau kebijakan baru “untuk membantu wanita memilih persalinan daripada aborsi.”

- Newsletter -

Komite Kehidupan Keuskupan Agung Seoul mendesak agar rancangan undang-undang itu direvisi agar menyertakan konseling wajib bagi perempuan yang mempertimbangkan aborsi, persyaratan tanggung jawab keuangan untuk ayah kandung, dan kemampuan hukum bagi ibu untuk melahirkan secara anonim karena stigma budaya seputar kehamilan di luar nikah di Korea.

Keuskupan agung juga telah membentuk dana untuk mendukung wanita lajang yang membesarkan anak sendiri.

Aborsi di Korea Selatan telah dilarang sejak 1953 dan pelaku aborsi dapat dihukum berdasarkan KUHP negara tersebut.

Pada tahun 1973, undang-undang anti aborsi diamandemen yang memungkinkan perempuan untuk mengakhiri kehamilan dalam kasus pemerkosaan, inses, risiko kesehatan bagi perempuan, atau penyakit keturunan atau penyakit menular dari pasangan tersebut.

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional pada April 2019 dan memerintahkan Majelis Nasional negara tersebut untuk merevisi undang-undang anti-aborsi pada akhir tahun 2020.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 28 Agustus, para uskup Katolik Korea Selatan menyatakan harapannya “bahwa masyarakat kita akan membangun sistem yang adil di mana kita mengambil tanggung jawab bersama untuk kehamilan dan perawatan anak, dan berusaha untuk menjadi ‘Korea yang lebih baik’ dengan membangun fundasi yang menghormati kehidupan dan budaya kehidupan. “

“Negara harus mengakui setiap kehidupan manusia, terlepas dari tahap perkembangannya, sebagai manusia yang berharga,” kata para uskup.

Pada bulan Agustus, mahasiswa dari enam universitas di Korea Selatan mengirim surat kepada Paus Fransiskus untuk mencari dukungannya dalam kampanye menentang rencana pemerintah mereka yang mengizinkan aborsi di negara tersebut.

Reuters melaporkan bahwa menjelang keputusan pengadilan, jajak pendapat menunjukkan sekitar tiga perempat warga Korea Selatan mendukung pencabutan larangan aborsi.

Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan 1,1 kelahiran per wanita, terendah di 198 negara dan jauh di belakang rata-rata global 2,4, menurut laporan Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest