Filipina menempati peringkat keempat dalam daftar negara-negara yang paling terkena dampak bencana dalam 20 tahun terakhir, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis minggu ini.
Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana merilis laporan berjudul “Kerugian Manusia akibat Bencana” pada 13 Oktober, bertetapan dengan Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa dari 7.348 bencana yang tercatat dari tahun 2000 hingga 2019, Filipina mengalami 304 bencana, peringkat keempat setelah Tiongkok dengan 577 kali, Amerika Serikat dengan 467, dan India dengan 321.
Disebutkan juga menunjukkan bahwa sekitar 149 juta orang Filipina terkena dampak bencana alam selama dua dekade terakhir, mewakili rata-rata 7.796 per 100.000 penduduk.
Laporan itu mencatat bahwa sebagian besar bencana yang melanda negara itu adalah peristiwa hidrologi dan meteorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan badai.
Peristiwa paling dahsyat yang tercatat adalah Topan Super Haiyan, yang melanda negara itu pada tahun 2013 dan menewaskan sedikitnya 6.000 orang.
Laporan itu juga mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah bencana yang terjadi dalam dua dekade terakhir, yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan ekonomi di seluruh dunia.
Pastor Antonio Labiao, sekretaris eksekutif Caritas Filipina, meminta pemerintah Filipina untuk “menyediakan mekanisme koordinasi yang lebih baik untuk memberdayakan masyarakat lokal sebagai tanggapan pertama” selama bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia.
Imam itu menekankan bahwa “menempatkan manusia di pusat” tanggapan negara terhadap bencana “akan memperkuat pengurangan risiko bencana dan tindakan mitigasi.”
Dia juga menyerukan kolaborasi dan koordinasi yang erat antara lembaga pemerintah dan para pelaku kemanusiaan nasional dan lokal, termasuk organisasi berbasis agama.
Pastor Labiao mengatakan gereja dan kelompok kemanusiaan berbasis agama dapat membantu pemerintah dalam program pengurangan risiko bencana.
Caritas Philippines dianggap sebagai lembaga kemanusiaan dan pembangunan non-pemerintah terbesar di negara tersebut dengan jaringan lebih dari 80 pusat aksi sosial.
Imam itu mengatakan Gereja Katolik memiliki tenaga, struktur, pengaruh, dan integritas untuk memobilisasi komunitas tanpa banyak biaya.
Pastor Labiao juga mengatakan bahwa Gereja juga memiliki keahlian dalam tanggap bencana dan memiliki pengetahuan akan situasi lokal yang terbukti penting dalam keadaan darurat akhir-akhir.