Seorang uskup Katolik di Korea Selatan telah meminta pemerintah untuk memberlakukan undang-undang yang memungkinkan praktisi medis menolak untuk melakukan aborsi.
Uskup Mathias Lee Yong-hoon dari Keuskupan Suwon mengatakan pihak berwenang harus memberlakukan kebijakan “keberatan hati nurani” yang memungkinkan dokter dan perawat menolak pasien yang meminta aborsi.
“Petugas kesehatan tidak boleh dihukum hanya karena mereka menolak melakukan prosedur aborsi,” kata Uskup Lee, presiden baru Konferensi Waligereja Korea seperti dilapor Korea Times.
Bulan ini, Kementerian Kehakiman Korea Selatan mengumumkan bahwa pemerintah akan “mendekriminalisasi” aborsi dan telah memutuskan untuk memberikan hak kepada wanita untuk mengakhiri kehamilan yang berusia 14 minggu.
Penghentian kehamilan juga dapat dilakukan setelah berusia 24 minggu dalam kasus cacat lahir yang parah, kejahatan seksual, atau risiko kesehatan bagi ibu.
Pada April 2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang anti-aborsi tidak konstitusional dan memerintahkan Majelis Nasional untuk merevisi undang-undang tersebut pada akhir tahun 2020.
Gereja Katolik di Korea Selatan menegaskan bahwa aborsi tidak dapat diterima dan bertentangan dengan ajaran Gereja yang pro-kehidupan.
“Melindungi martabat kehidupan manusia adalah nilai yang tidak dapat dikompromikan,” kata Uskup Lee.
Aborsi di Korea Selatan telah dilarang sejak tahun 1953 dan dihukum berdasarkan KUHP negara tersebut.
Pada tahun 1973, undang-undang anti-aborsi diamandemen yang memungkinkan perempuan untuk mengakhiri kehamilan dalam kasus pemerkosaan, hubungan sedarah, risiko kesehatan bagi perempuan, atau penyakit keturunan atau penyakit menular dari pasangan tersebut.
Para uskup Katolik Korea Selatan sebelumnya mengungkapkan harapan bahwa “masyarakat kita harus membangun sistem yang adil di mana kita bertanggung jawab bersama atas kehamilan dan perawatan anak.”
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada bulan Agustus, para uskup mendesak negara itu untuk berjuang menjadi Korea yang lebih baik dengan membangun dasar penghormatan terhadap kehidupan dan budaya kehidupan.
“Negara harus mengakui setiap kehidupan manusia, terlepas dari tahap perkembangannya, sebagai manusia yang berharga,” kata para uskup.
Pada bulan Agustus, mahasiswa dari enam universitas di Korea Selatan mengirim surat kepada Paus Fransiskus untuk mencari dukungannya dalam kampanye menentang rencana pemerintah mereka yang mengizinkan aborsi di negara tersebut.
Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan 1,1 kelahiran per wanita, terendah di 198 negara, dan jauh di belakang rata-rata global 2,4, menurut laporan Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020.