Aktivis dan kelompok tani di Filipina melakukan pawai di ibukota Manila pada hari Rabu, 21 Oktober, untuk memperingati Bulan Tani.
Anggota Gerakan Tani Filipina dan sekutunya berkumpul di luar istana presiden di Manila memprotes “kemiskinan, kelaparan, dan penindasan yang memburuk,” yang terjadi di negara itu.
Danilo Ramos, ketua kelompok tani mengimbau pemerintah memperhatikan tuntutan rakyat dan menerapkan undang-undang reformasi agraria.
Di pulau Negros di Filipina tengah, aktivis dan keluarga korban pembunuhan menandai pembantaian sembilan buruh tani pada tahun 2018, termasuk empat perempuan dan dua anak.
Pada 20 Oktober 2018, pria bersenjata masih belum teridenfitikasi menembak dan membunuh para korban yang sedang makan malam di tenda darurat Desa Bulanon di Kota Sagay, Provinsi Negros Occidental.
Para petani mengelola sebidang tanah yang mereka tanam secara kolektif di dalam tanah yang kepemilikannya masih disengketakan.
Dalam sebuah pernyataan, Federasi Nasional Pekerja Gula mengatakan bahwa bukannya memberik keadilan bagi para korban, pemerintah malah memfitnah mereka yang meninggal dan menganiaya para penyintas.
Arje Marangga, Sekretaris Jenderal Federasi, mengatakan insiden tahun 2018 itu adalah upaya negara untuk menggagalkan gerakan petani yang sedang memperjuangkan hak atas tanah.
“Ini jelas dipicu oleh elit dan orang-orang kuat,” kata Marangga, menambahkan bahwa pembantaian itu adalah awal dari serentetan pembunuhan di Filipina tengah dalam beberapa tahun terakhir.
Satu bulan setelah insiden Sagay, Presiden Rodrigo Duterte memerintahkan pengerahan pasukan keamanan negara di wilayah Negros, Bicol, dan Samar untuk memadamkan “pelanggaran hukum”.
Data Gerakan Tani Filipina menunjukkan bahwa sejak 2018 setidaknya ada 168 orang yang tewas di Negros yang sebagian besar adalah petani.
Kelompok tersebut juga mengklaim bahwa 288 petani di seluruh negeri telah dibunuh karena “membela hak atas tanah” sejak Juli 2016.
Kelompok hak asasi Karapatan mengatakan hanya 202 kasus pembunuhan petani yang telah diverifikasi, sedangkan 86 kasus lainnya masih dalam penyelidikan.
Kelompok itu mencatat total 328 “pembunuhan di luar proses hukum” dan 463 pembunuhan bermotif politik dari Juli 2016 hingga Agustus 2020.
Cristina Palabay, Sekretaris Jenderal Karapatan, mengatakan hasil penyelidikan mereka menunjukkan pelaku memiliki hubungan dengan militer, kelompok paramiliter, atau kelompok bersenjata swasta.
Aktivis tanah dan hak asasi manusia terkemuka juga terbunuh di Negros dalam dua tahun terakhir, termasuk pengacara Benjamin Ramos, anggota dewan kota Bernardino Patigas, dan pekerja gereja Zara Alvarez.
Kelompok hak asasi manusia berbasis agama, Pelayanan Yesaya, meminta pihak berwenang untuk “segera bertindak” atas serentetan pembunuhan dan mengimbau untuk “menghormati mereka yang memproduksi makanan yang kita makan.”
Pastor Dionito Cabillas, ketua pemrakarsa kelompok itu, mengatakan tindakan ketidakadilan terhadap para petani sebagai produsen makanan negara adalah “masalah nasional karena kita semua bergantung pada pertanian untuk kelangsungan hidup.”
Imam itu mengatakan bahwa adalah kewajiban semua warga Filipina untuk menekan pemerintah untuk memberlakukan kebijakan yang akan melindungi petani dan mengatasi akar kemiskinan.