Takhta Suci sekali lagi mengecam kekerasan terhadap agama atau kepercayaan dan segala bentuk “populisme dan nasionalisme” yang menganggap migran dan pengungsi sebagai “orang lain” dan “musuh”.
Dalam pidatonya pada forum Ministerial to Advance Religious Freedom pekan ini, Uskup Agung Paul Richard Gallagher, Sekretaris Vatikan untuk Hubungan Luar Negeri menekankan “perlunya dialog antaragama dan antarbudaya untuk menumbuhkan saling pengertian dan rasa hormat.”
Forum tahunan yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri AS mempertemukan para pemimpin dari seluruh dunia untuk membahas tantangan yang dihadapi kebebasan beragama. Karena pandemi, pertemuan tahun ini yang diselenggarakan oleh Polandia diadakan secara online.
Dalam pidatonya, Uskup Agung Gallagher mendesak otoritas sipil agar “mengingat dan menghormati hak dasar kebebasan beragama bagi semua,” yang berakar pada “dimensi batin pribadi manusia.”
“Semua pemerintah harus menyambut dialog terbuka dengan para pemimpin dari semua latar belakang agama… untuk melindungi, mendorong dan menerapkan kebebasan beragama atau berkeyakinan… dan tidak memanipulasinya sebagai alat politik,” kata pejabat Vatikan itu.
Dia mengatakan dialog seharusnya tidak berhenti pada “toleransi belaka” tetapi harus lebih jauh agar tidak menganggap orang lain sebagai musuh tetapi sebagai “saudara dan saudari, yang setara dengan martabat kita.”
Uskup Agung Gallagher mengatakan bahwa pembatasan yang diberlakukan oleh negara selama pandemi “memiliki konsekuensi signifikan pada kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang dan telah membatasi aktivitas keagamaan, pendidikan, dan karya amal komunitas agama.”
Dia mengatakan otoritas sipil harus menyadari dampak buruk dari pembatasan ini terhadap komunitas agama atau kepercayaan, dengan mengatakan bahwa komunitas memainkan peran penting dalam mengatasi krisis dengan dukungan moral mereka dan pesan solidaritas serta harapan mereka.
Di negara-negara Katolik, uskup agung itu mengatakan akses untuk mendapatkan Sakramen adalah “layanan penting.”
“Kebebasan beribadah tidak bergantung pada kebebasan berkumpul, tetapi merupakan bagian penting dari kebebasan beragama,” katanya.
“Pada saat kita berusaha melindungi nyawa dari penyebaran virus, kita tidak boleh menempatkan dimensi spiritual dan moral orang tersebut sebagai hal sekunder dibandingkan keberadaan duniawinya,” tambah pejabat Vatikan itu.
Uskup Agung itu mengutip ensiklik terbaru Paus Fransiskus “Fratelli tutti” di mana paus mengatakan bahwa “kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama” adalah hak asasi manusia yang “tidak boleh dilupakan dalam perjalanan menuju persaudaraan dan perdamaian.”