Kardinal pertama Brunei Darussalam memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana menjadi Gereja “pinggiran” di negaranya.
“Gereja Katolik di Brunei, dalam arti tertentu, adalah pinggiran di dalam pinggiran,” kata Kardinal Cornelius Sim dari Brunei dalam wawancara dengan Vatican News.
Ia mengatakan Gereja seperti itu “tidak menjadi berita utama,” dan menambahkan bahwa Gereja di Brunei “secara umum diharuskan untuk menjalani iman Kristen tanpa harus menarik perhatian pada kita sendiri.”
Vikaris apostolik Brunei itu termasuk di antara 13 kardinal baru yang dipilih Paus Fransiskus dalam konsistori di Vatikan pada 28 November.
Kardinal Sim mengatakan bahwa pengangkatannya merupakan pengakuan atas komunitas Katolik kecil itu dan “kontribusi yang diberikan gereja-gereja kecil kepada Gereja Universal.”
“Kami memang kecil, tapi saya pikir kami telah berkontribusi. Kami adalah orang-orang yang mencintai Gereja. Saya tidak mengatakannya karena itu hal yang baik untuk dikatakan, tetapi Anda tahu, Gereja adalah ibu kita,” kata kardinal dalam wawancara sebelumnya.
Kardinal Sim tidak dapat melakukan perjalanan ke Vatikan untuk konsistori dan untuk menerima topi merah (biretta) karena pembatasan akibat pandemi virus corona.
Pada tahun 2004, Paus St. Yohanes Paulus II menunjuk Pastor Sim sebagai vikaris apostolik dan uskup lokal pertama Brunei, sebuah negara kecil di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Sebuah negara Asia Tenggara yang kecil tapi makmur di pantai timur laut Kalimantan, Brunei memiliki program kesejahteraan yang sangat dermawan dengan sebagian besar kekayaannya berasal dari minyak dan gas.
Mayoritas dari 460.000 penduduk negara itu adalah Muslim. Hanya sekitar 16.000 orang yang beragama Katolik, kebanyakan pendatang atau ekspatriat dari Filipina.
Selain Kardinal Sim yang berusia 69 tahun, ada tiga imam lain yang membantunya melayani sebagai pastor bagi komunitas Katolik di sana.
Kardinal Sim mengatakan bahwa Gereja di Brunei tidak seperti “Gereja mega” di Barat yang memiliki “monumen arsitektur yang indah.”
Ia mengatakan Gereja kecil mereka hidup dalam roh yang saling menyemangati melalui pencampuran tradisi dari berbagai negara yang dibawa oleh para migran.
“Masyarakat setempat diperkaya dan disadarkan akan praktik-praktik ini, melalui musik, tari, dan devosi,” katanya.
Menurut Kardinal Sim umat Katolik asli “kurang begitu terlibat aktif dalam kehidupan gereja … karena mereka lebih baik secara finansial, ekonomi dan sosial daripada banyak pekerja migran.”
“Sebagian besar upaya spiritual dan kesejahteraan Gereja ditujukan kepada ekspatriat, tanpa mengabaikan kebutuhan umat Katolik setempat,” kata kardinal.
Dia mengatakan orang-orang dari budaya yang berbeda terlibat dalam “dialog kehidupan,” dan menambahkan bahwa dialog antaragama bagi mereka “bukan soal diskusi teologis namun tentang menghormati kepercayaan orang lain dan berinteraksi secara harmonis dalam mencari kebaikan bersama.”
Kardinal Sim adalah seorang insinyur kelistrikan lulusan Universitas Dundee di Inggris.
Setelah bekerja selama sekitar sepuluh tahun dengan Shell, perusahaan minyak dan gas multinasional Inggris-Belanda, di Brunei dan Eropa, ia memutuskan untuk belajar menjadi imam. Dia ditahbiskan pada tahun 1989.
Ketika Paus St. Yohanes Paulus II memisahkan Brunei dari Keuskupan Miri-Brunei dan mendirikan Prefektur Apostolik Brunei pada tahun 1998, ia menunjuk Pastor Sim sebagai prefeknya.
Ketika Brunei dinaikkan statusnya menjadi vikariat apostolik pada bulan Oktober 2004, ia diangkat menjadi vikaris apostolik yang pertama. Penahbisan uskupnya berlangsung pada Januari 2005.