Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Berbagai kelompok gereja dukung pembangkangan sipil di Myanmar

Berbagai kelompok gereja dukung pembangkangan sipil di Myanmar

Sejumlah kelompok gereja telah menyatakan dukungan untuk gerakan massa tanpa kekerasan yang mendesak pemulihan demokrasi di Myanmar setelah kudeta militer 1 Februari.

Di Filipina, para imam, religius, dan pelajar dari Myanmar menunjukkan solidaritas dengan orang-orang di kampung halaman mereka dengan mengadakan persekutuan doa di Quezon City pada 7 Februari.

“Kami ingin Anda tahu bahwa meskipun kami tidak dapat hadir secara fisik, kami menyampaikan permohonan kami kepada Tuhan bagi Myanmar,” kata seorang imam yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.




Konferensi Waligereja Myanmar sebelumnya telah menginstruksikan semua keuskupan dan religius di negara itu untuk “berdoa dan berpuasa.”

Para uskup meminta para imam dan umat beriman untuk menyampaikan ujud perdamaian di negara itu dalam perayaan Ekaristi Kudus.

Mereka juga mendorong para imam untuk menggunakan pernyataan Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon, presiden konferensi para uskup, sebagai dasar homili mereka.

Kardinal Bo pada 3 Februari menyerukan dialog dan mengatakan bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan ke depan di negara itu.

Dalam pernyataan terpisah, Konvensi Baptis Myanmar mengatakan “selalu berdiri teguh untuk mempromosikan cinta, keadilan, perdamaian, dan kebebasan” sesuai dengan ajaran sosial Kristen.

- Newsletter -

Kelompok itu menyatakan “kekecewaan” atas kudeta militer dan penangkapan para pemimpin sipil pada saat negara tersebut “sangat menderita” akibat pandemi.

Seorang demonstran menunjukkan salam tiga jari saat demonstrasi menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, 7 Februari (Foto Reuters)

Konvensi tersebut, yang secara resmi didirikan pada tahun 1865 sebagai Konvensi Misionaris Baptis Burma, mengklaim memiliki 5.319 gereja dan lebih dari 1,7 juta anggota.

Kelompok Protestan mengatakan mereka “menolak sistem pemerintahan yang menindas” dan menyerukan “pembebasan segera dan tanpa syarat” para pemimpin sipil yang ditangkap dan ditahan.

“[Kami] berharap munculnya Republik Persatuan Myanmar, berdasarkan sistem Federal Demokrat, yang menghargai dan mendorong perdamaian, keadilan, rekonsiliasi nasional, non-kekerasan, dan penghormatan terhadap hak asasi dan martabat manusia,” kata pernyataan mereka.

Kelompok yang berbasis di Yangon ini berafiliasi dengan Baptist World Alliance dan anggota Dewan Gereja Dunia.

Sementara itu, Institut Teologi Myanmar mengatakan akan secara aktif mendukung dan berpartisipasi dalam “gerakan pembangkangan sipil” dan gerakan non-kekerasan lainnya di negara itu untuk menekan militer agar mundur.

“Kami dengan teguh mendukung rakyat Myanmar yang telah dengan bebas dan tulus mengungkapkan keinginan mereka untuk menegakkan keadilan dan perdamaian, yang merupakan cara Yesus Kristus,” bunyi pernyataan itu.

Lembaga tersebut mengutuk “tindakan tidak adil, paksa,  menindas, otoriter” dari rezim militer, yang disebutnya mengarah pada “pengendalian atas kekuasaan rakyat yang bertentangan dengan keinginan mayoritas orang di Myanmar.

Paus Fransiskus pada 7 Februari, meminta para pemimpin politik di Myanmar untuk “menunjukkan kesediaan yang tulus untuk melayani kebaikan bersama, mempromosikan keadilan sosial dan stabilitas nasional.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest