Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Wartawan ditangkap, kriminalisasi pers oleh junta militer Myanmar berlanjut

Wartawan ditangkap, kriminalisasi pers oleh junta militer Myanmar berlanjut

Junta militer Myanmar sejak awal kudeta telah secara sewenang-wenang menahan jurnalis, mengancam mereka sehingga terpaksa bersembunyi, dan mendikte rancangan undang-undang yang akan sangat mengekang kebebasan media.

Dalam sebuah pernyataan, kelompok hak asasi manusia Fortify Rights mengatakan bahwa junta telah secara sewenang-wenang menangkap atau menahan setidaknya sembilan jurnalis sejak 1 Februari ketika militer pertama kali mengambil alih pemerintahan.

Pada 14 Februari,  lima jurnalis Myanmar yang meliput tindakan keras oleh pasukan keamanan selama protes di Myitkyina, Negara Bagian Kachin, ditahan oleh militer selama satu malam.




“Kami ditahan di kendaraan angkutan penjara. . . Kami ditahan pada jam 8:45 malam dan melepaskan kami keesokan harinya sekitar pukul 10.30,” kata salah satu jurnalis kepada Fortify Rights sehari setelah militer membebaskannya.

“[Ketika dibebaskan], tentara menjelaskan bahwa kami ditahan karena kami mengungkapkan informasi tentang tindakan keras tersebut dan berapa banyak militer dan polisi yang ada di sana,” tambahnya.

Jurnalis yang ditahan antara lain dari 74 Media, Mizzima News, dan Eternally Peace News Network.

Salah satu jurnalis yang berbicara dengan Fortify Rights mengatakan tentara membebaskan kelima jurnalis itu tanpa dakwaan dan memaksa mereka untuk menandatangani dokumen yang mengatakan bahwa mereka tidak akan melanggar larangan untuk pertemuan lima orang atau lebih atau jam malam yang dikeluarkan militer pada 8 Februari.

- Newsletter -

Pihak berwenang juga menyita kamera mereka namun dikembalikan  setelah mereka dibebaskan, kata kelompok tersebut.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan bahwa pasukan keamanan menahan setidaknya empat jurnalis lainnya sejak kudeta 1 Februari. Semua jurnalis lainnya telah dibebaskan, kecuali wartawan lepas Shwe Yi Win, yang diduga ditangkap polisi pada 11 Februari di Pathein, ibu kota Wilayah Ayeyarwady.

Ibu dari jurnalis yang masih ditahan itu mengatakan kepada Irrawaddy Burma pada 12 Februari bahwa dua petugas polisi wanita membawa putrinya, dan dia tidak memiliki informasi tentang keberadaannya. Pada 18 Februari, AAPP mengatakan dia masih ditahan.

Polisi menahan seorang pria saat protes menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 15 Februari. (Foto Reuters)

Penangkapan dan penahanan jurnalis oleh junta menciptakan efek mengerikan dan menakutkan bagi pewarta yang bekerja, kata Fortify Rights. Kelompok hak asasi ini mendokumentasikan bagaimana sejumlah anggota pers di wilayah Yangon, Negara Bagian Rakhine, dan Negara Bagian Kachin bersembunyi atau menghindari tinggal di rumah mereka karena ketakutan sejak kudeta dimulai.

“Saya tidak tinggal di rumah,” kata seorang jurnalis yang namanya dirahasiakan kepada Fortify Rights. “Saya sudah tidak tidur di rumah selama dua minggu, sejak 2 Februari. Tadi malam, polisi datang ke lingkungan tempat saya bersembunyi. Mereka tidak datang ke tempat saya [tinggal], tapi saya bisa melihat mereka di jalan. ”

Seorang pemimpin redaksi sebuah media Myanmar mengatakan kepada Fortify Rights bahwa 10 stafnya bersembunyi, termasuk editor dan reporter.

“Pemerintah militer seharusnya tidak mencoba menghentikan jurnalis melakukan pekerjaan kami. Melaporkan situasi saat ini adalah tugas kami. Itu adalah tugas kami,” kata pemimpin redaksi itu.

Seorang wartawan lain mengatakan bahwa anggota redaksi medianya tidak tidur di rumah karena takut ditangkap. “Kami takut intelijen militer akan datang dan menjemput kami malam hari,” katanya.

Pada 16 Februari, badan eksekutif junta militer, Dewan Administrasi Negara (SAC), mengadakan konferensi pers pertamanya. Wakil Menteri Informasi Zaw Min Tun dilaporkan mengatakan kepada media bahwa militer mengambil “tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum jika laporan media melanggar hukum.”

Saat konferensi pers, dia mengatakan “Saya tidak bisa berjanji untuk tidak mengambil tindakan apa pun terhadap media.”

Tentara berjaga di luar Bank Sentral Myanmar selama protes menentang kudeta militer, di Yangon, Myanmar, 15 Februari (Foto Reuters)

Fortify Rights berkata bahwa sebelum kudeta, militer serta pemerintah yang dipimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) bertanggung jawab atas pembatasan yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan media.

Sejak awal kudeta, junta militer juga mendikte serangkaian rancangan undang-undang yang akan sangat membatasi hak-hak fundamental, termasuk kebebasan pers.

Pada 9 Februari, SAC mengirimkan rancangan undang-undang keamanan dunia maya kepada operator telekomunikasi, meminta masukan sebelum 15 Februari. Jika diberlakukan, RUU tersebut akan secara efektif mengkriminalisasi kritik terhadap junta, dengan hukuman hingga 10 juta Kyat Myanmar (US$ 7.000) dan / atau hingga tiga tahun penjara untuk setiap pelanggaran.

Pada 11 Februari, Kementerian Informasi Myanmar mengirim surat kepada Dewan Pers Myanmar – sebuah lembaga media independen – memerintahkan media untuk berhenti ‘secara salah’ menyebut  junta sebagai “pemerintahan kudeta.” Mengatakan seperti itu melanggar UU Pers dan UU Percetakan dan Penerbitan.

“Ini adalah kebijakan yang buruk,” kata seorang jurnalis Myanmar dari tempat ia bersembunyi kepada Fortify Rights pada 13 Februari. “Ini adalah pelanggaran terhadap pers. Kami harus menulis kebenaran dan mengatakan [militer] mengambil alih kekuasaan dari rakyat. “

Militer juga memblokir media sosial utama, seperti Facebook dan Twitter, dan memutus jaringan internet secara nasional dari jam 1 pagi hingga 9 pagi sejak 15 Februari.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest