Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Features (Bahasa) Cerita Suster Rose yang hampir ditembak saat mengadang pasukan Myanmar

Cerita Suster Rose yang hampir ditembak saat mengadang pasukan Myanmar

Seorang biarawati Katolik di Myanmar baru-baru ini menarik perhatian jutaan orang di seluruh dunia ketika fotonya berlutut di depan polisi bersenjata menjadi viral di media sosial.

“Tolong jangan tembak, tolong jangan. Mereka adalah warga sipil yang tidak bersalah,” teriak Suster Rose Lasang Nu Tawng dari Keuskupan Myitkyina ketika polisi dan tentara mengarahkan senjata ke pengunjuk rasa pada 28 Februari.

Minggu pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Suster Rose yang sehari-hari menjalankan klinik bersama para suster lain dari Kongregasi St. Fransiskus Xaverius di Myitkyina, ibu kota Negara Bagian Kachin di Myanmar utara.




Klinik itu biasanya ditutup pada hari Minggu, tetapi semua rumah sakit lain ditutup sejak militer mengambil alih pemerintah Myanmar dalam kudeta pada 1 Februari.

Meningkatnya jumlah pasien miskin yang membutuhkan perawatan medis membuat Suster Rose terpaksa mengundang petugas medis Katolik dan teman-temannya untuk membantu di klinik yang dikelola gereja itu.

“Saya melihat begitu banyak orang, terutama pengunjuk rasa, di jalan di depan klinik kami,” kata Sister Rose mengenang apa yang terjadi Minggu pagi itu.

Ia kemudian melihat kendaraan polisi dan militer yang membawa meriam air mendekati sekelompok anak muda Katolik yang berkumpul di luar klinik.

Tiba-tiba sebuah ledakan keras terjadi bahkan sebelum para biarawati itu bereaksi terhadap kendaraan yang mendekat.

- Newsletter -

“Kami semua kaget dan lari,” kata Suster Rose.

“Kami mencoba membantu menjaga warga dari polisi,” katanya, menambahkan bahwa klinik tersebut membuka pintunya bagi para pengunjuk rasa.

Suster Rose Lasang Nu Tawng berlutut di depan polisi dan tentara di Myitkyina, ibu kota Negara Bagian Kachin di Myanmar utara, 28 Februari. (Foto milik Radio Veritas Asia)

Keributan pun terjadi, orang-orang bersenjata mengejar warga, beberapa pengunjuk rasa dipukuli dan ditangkap, ratusan orang melarikan diri ke kompleks klinik.

“Saya menangis dengan keras, dan saya mencoba untuk mendapatkan kembali orang-orang yang ditangkap oleh polisi. Saya mencoba turun tangan, dan polisi memukuli saya,” katanya.

“Mungkin saya terlihat seperti orang bodoh saat itu,” kata Suster Rose sambil tersenyum ketika dia mengingat bagaimana dia berdiri di luar pintu klinik dengan tangan terentang untuk mencegah polisi mengejar pendemo.

Beberapa orang tidak bisa melarikan diri. Beberapa jatuh ke tanah dan terluka.

Suster Rose mengatakan bahwa dia juga ingin melarikan diri, “tetapi saya merasa kasihan kepada orang-orang itu, jadi saya memutuskan untuk tinggal, dan mati jika perlu.”

Di luar klinik, polisi terus bergerak maju dan biarawati itu berlari ke arah mereka, melipat tangannya seperti sedang berdoa, dan berlutut di trotoar.

“Orang-orang sudah sangat menderita. Tembak saja saya sampai mati,” katanya kepada polisi yang berhenti saat melihat biarawati itu berlutut di tengah jalan.

“The people have already suffered much. Just shoot me to death,” she told the policemen who stopped at the sight of the nun kneeling in the middle of the street.




Setelah beberapa saat, Suster Rose membuka matanya dan melihat bahwa dia sendirian. Orang-orang sudah melarikan diri dan polisi mundur.

“Saat saya hendak masuk, polisi itu kembali dan saya menghadapi mereka dan mencoba mengusir mereka,” kata biarawati itu.

Kemudian terjadi bunyi tembakan.

“Orang-orang ini tidak bersalah dan mereka hanya ingin memprotes dengan cara damai,” teriak Sister Rose kepada polisi dan tentara.

“Jangan perlakukan mereka dengan kasar. Kita semua adalah warga negara dan bersaudara. Jika perlu, bunuh saja saya dan biarkan orang-orang ini bebas,” kata biarawati itu dengan berani kepada orang-orang bersenjata itu.

Ia mengatakan polisi memperingatkannya untuk tidak mendekat, tapi ia menolak dan terus mendekat.

“Selama kalian terus melakukan hal-hal yang kejam, aku tidak akan pergi. Sebaliknya, biarkan saya mati, ”katanya.

Polisi akhirnya pergi.

Suster Rose kembali ke klinik untuk membantu mengobati mereka yang terluka. Orang-orang muda dan para dokter Katolik masih ada di sana.

Seorang pemuda terluka parah sementara yang lainnya tidak sadarkan diri. Para suster lainnya kemudian terus membawa warga yang terluka ke klinik pada siang hari.

Saat foto dirinya berlutut di jalan di depan pria bersenjata menjadi viral, biarawati itu mengaku bahwa dia sendiri terkejut dengan apa yang dia lakukan.

“Saya bersyukur kepada Tuhan atas kekuatan untuk menghadapi polisi,” katanya.

Suster Rose Lasang Nu Tawng menangis keras di depan polisi dan tentara di Myitkyina pada 28 Februari (Foto milik Radio Veritas Asia)

Beberapa kelompok dan individu memuji tindakan Suster Rose.

“Tindakan suster itu dan tanggapan polisi yang berhenti setelah melihat permohonan suster itu telah mengejutkan banyak orang,” kata Joseph Kung Za Hmung, editor Gloria News Journal, sebuah publikasi Katolik online di Myanmar.

Ia menggambarkan tindakan biarawati itu sebagai “teladan bagi para pemimpin gereja.” Ia mengatakan “para uskup dan imam dipanggil untuk keluar dari zona nyaman mereka dan mengikuti keberaniannya sebagai teladan,” tambah Hmung.

Pada 3 Maret, pasukan keamanan Myanmar menembak mati sembilan demonstran, sehari setelah desakan diplomatik regional untuk mengakhiri krisis yang sudah berlangsung selama sebulan lebih itu.

Kekerasan itu terjadi sehari setelah para menteri luar negeri negara-negara tetangga Asia Tenggara mendesak penghentian kekerasan namun tidak bisa bersatu dalam desakan agar militer membebaskan pemimpin pemerintah yang digulingkan Aung San Suu Kyi.

Sekitar 30 orang telah tewas sejak kudeta pada 1 Februari, yang mengakhiri langkah Myanmar menuju pemerintahan demokratis, sehingga memicu protes secara nasional dan kekecewaan dunia internasional.

Pasukan keamanan juga telah menahan sekitar 300 pengunjuk rasa saat mereka membubarkan protes di Yangon.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest