Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar kembali menyerukan perdamaian di negara itu yang ia sampaikan dalam sepucuk surat yang dikirim kepada para pemimpin politik dan agama Myanmar pada 14 Maret, hari paling berdarah sejak kudeta militer.
“Selama beberapa minggu terakhir kita telah mengalami tantangan besar sebagai sebuah bangsa. Krisis ini tidak akan diselesaikan dengan pertumpahan darah,” kata Kardinal Bo dalam suratnya.
Kardinal mengeluarkan surat pada hari yang sama ketika puluhan pengunjuk rasa anti-kudeta tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Pertumpahan darah terburuk terjadi di Hlaingthaya, sebuah tempat di pinggiran kota Yangon, di mana pasukan keamanan menewaskan sedikitnya 34 pengunjuk rasa setelah pembakaran pabrik-pabrik milik Tiongkok, lapor media Myanmar Now. Dalam pesan Facebook, seorang dokter di daerah tersebut menyebutkan jumlah korban tewas di sana adalah 33.
Pembakaran terjadi karena banyak pengunjuk rasa melihat Beijing mendukung kudeta militer.
Enam belas orang tewas di tempat lain, kata Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), serta satu polisi, yang menjadikan hari itu hari paling berdarah sejak kudeta. Kematian terbaru membuat jumlah korban dari protes anti kudeta menjadi 138, menurut penghitungan AAPP.
Saksi mata mengatakan pasukan keamanan Myanmar kembali menembaki demonstran pro-demokrasi pada 15 Maret.
Surat Kardinal Bo ditujukan kepada Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, Jenderal Min Aung Hlaing, dan berbagai pemimpin agama dan sipil di negara tersebut.
“Pembunuhan harus segera dihentikan. Begitu banyak yang binasa,” kata Kardinal Bo. “Darah yang tumpah bukanlah darah musuh.”
“Itu adalah darah saudara dan saudari kita sendiri, warga negara kita sendiri,” katanya.
“Kita adalah bangsa impian. Anak-anak muda kita telah hidup dalam pengharapan. Janganlah kita menjadi bangsa dengan kekecewaan yang tidak masuk akal,” tambah pemimpin Katolik itu.
Pesan dari Vatikan
Kardinal Bo mengutip pesan yang dikirim baru-baru ini oleh Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal Pietro Parolin, yang menekankan seruan Paus untuk perdamaian di Myanmar.
Dalam suratnya Kardinal Parolin mengingatkan warga Myanmar akan ‘kasih sayang yang besar” Paus Fransiskus untuk negara mereka.
Pejabat Vatikan itu juga meminta Gereja Katolik di Myanmar untuk menyampaikan “kepedulian dan cinta” paus kepada semua pemimpin politik dan agama di negara itu, “terutama dalam memenuhi harapan dan memastikan martabat generasi muda kita.”
Kardinal Bo mengatakan Kardinal Parolin meminta agar “seluruh komunitas Katolik di Myanmar agar tidak ketinggalan dalam upaya ke arah ini.”
“Dikuatkan oleh mandat dan dorongan Vatikan, kami sebagai Gereja Katolik berkomitmen, bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, agar melihat bangsa ini bangkit kembali dalam saling pengertian dan damai,” kata Kardinal Bo dalam suratnya.
Militer Myanmar merebut kekuasaan dari pejabat politik terpilih dalam kudeta pada 1 Februari. Sejak itu, selama lebih dari sebulan, warga Myanmar, termasuk para imam, biarawati, religius, dan seminaris telah mengikuti aksi protes dan demonstrasi.
Tambahan dari Reuters