Kehidupan masyarakat miskin di Myanmar semakin memburuk akibat lonjakan harga pangan yang disebabkan oleh krisis politik sejak kudeta militer pada 1 Februari di negara itu.
Aksi protes dan pembangkangan sipil terhadap militer telah melumpuhkan ekonomi.
Badan Pangan Dunia (WFP) Perserikatan Bangsa Bangsa pekan ini melaporkan bahwa situasi politik telah berdampak serius pada rantai pasokan dan pasar yang berimbas pada lonjakan harga pangan dan bahan bakar.
“Tanda-tanda awal ini meresahkan, terutama bagi masyarakat paling rentan yang pendapatannya hanya untuk membeli makanan sehari-hari,” kata Stephen Anderson, direktur WFP untuk Myanmar.
“Setelah dihantam pandemi COVID-19, kenaikan harga, jika terus berlanjut, akan menghancurkan kemampuan orang paling miskin dan paling rentan untuk membeli makanan bagi keluarga,” tambahnya.
“Kenaikan harga pangan dan bahan bakar ini diperparah oleh hampir lumpuhnya sektor perbankan, perlambatan pengiriman uang, dan keterbatasan ketersediaan uang tunai,” kata Anderson.
Dalam sebuah laporan Vatican News, Anderson mencatat bahwa sebelum krisis politik saat ini, pandemi telah mengakibatkan penutupan banyak pabrik di negara itu, yang mempengaruhi banyak orang termiskin kehilangan pekerjaan karena pembatasan skala besar.

“Jika situasi berlarut-larut, sisi ekonomi dari krisis ini akan mengalami masalah sangat serius,” kata Anderson.
Sebelum pandemi, enam dari sepuluh rumah tangga di Myanmar tidak mampu membeli makanan bergizi. Kemiskinan semakin meningkat akibat COVID-19, dan pada paruh kedua tahun lalu, empat dari lima rumah tangga di negara itu melaporkan bahwa mereka telah kehilangan hampir 50 persen dari pendapatan mereka.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB juga telah menyatakan keprihatinan bahwa krisis politik saat ini menghambat operasi badan-badan kemanusiaan di Myanmar.
Penghentian bisnis dan layanan, termasuk bank, memengaruhi sistem pembayaran dan penarikan tunai.
Di sejumlah daerah, harga komoditas penting seperti pangan, bahan bangunan, dan bahan bakar dilaporkan mengalami kenaikan.
Sekitar satu juta orang yang dilanda konflik dan bencana alam membutuhkan dukungan dan perlindungan, termasuk lebih dari 350.000 pengungsi.