Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Umat Katolik di Papua khawatir dengan penetapan separatis sebagai teroris

Umat Katolik di Papua khawatir dengan penetapan separatis sebagai teroris

Catholic Church leaders in Papua signed a letter appealing for an end to the conflict, saying that a “violent struggle will never succeed”

Para pemimpin gereja Katolik di Papua dan Papua Barat menyatakan kekhawatiran mereka atas keputusan Jakarta yang telah menandai kelompok separatis Papua sebagai teroris.

Mereka mengatakan intervensi militer, terutama setelah keputusan tersebut, perlu dinilai ulang secara serius karena pada akhirnya dapat memicu kekerasan lebih banyak lagi.

Pastor Marthen Kuayo, administrator apostolik Keuskupan Timika, meminta agar diadakan dialog menyusul meningkatnya serangan pemberontak dan tindakan keras militer dalam beberapa pekan terakhir.

Imam itu mengatakan upaya untuk menciptakan perdamaian di wilayah yang bermasalah itu membutuhkan “solusi bersama yang bermartabat, manusiawi, terbuka dan penuh hormat.”

“Beberapa orang telah terbunuh oleh pasukan keamanan dan kelompok separatis,” kata Pastor Kuayo dalam sebuah pertanyataan dan menambahkan bahwa situasi keamanan semakin memburuk.




Minggu lalu, Indonesia secara resmi menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua sebagai teroris, sebuah langkah yang menurut para aktivis dapat memperluas kekuasaan pasukan keamanan, termasuk penahanan berkepanjangan tanpa penuntutan.

Penetapan itu menyusul seruan Presiden Joko Widodo untuk menindak pemberontak Papua setelah seorang perwira intelijen ditembak mati bulan lalu.

“Pemerintah berpendapat bahwa organisasi dan masyarakat di Papua yang melakukan kekerasan besar-besaran dapat diklasifikasikan sebagai teroris,” kata Menkopolhukam Mahfud MD.

- Newsletter -

Separatis di daerah yang kaya sumber daya alam itu mengatakan perjuangan mereka sah karena bekas kekuasaan kolonial Belanda menjanjikan kemerdekaan Papua sebelum dianeksasi pada tahun 1963.

Indonesia mengatakan Papua adalah wilayahnya, sebagaimana dikonfirmasi oleh hasil referendum tahun 1969. Namun separatis mengatakan bahwa pemungutan suara itu tidak mencerminkan aspirasi mereka.

Undang-undang anti-terorisme Indonesia mengizinkan pihak berwenang untuk menahan individu-individu tanpa dakwaan hingga 21 hari dan menyadap komunikasi jika dicurigai digunakan untuk merencanakan atau melakukan tindakan terorisme.

Andreas Harsono, Peneliti Indonesia di Human Rights Watch yang berbasis di New York mengatakan ruang lingkup di Papua akan jauh lebih besar, sehingga akan membuka lebih banyak kemungkinan pelanggaran.

Sementara itu Usman Hamid, direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan pelabelan “teroris” juga dapat membatasi kebebasan berbicara dan berkumpul dan “hanya akan menunjukkan bahwa pemerintah gagal lagi untuk melihat akar penyebab pemberontakan di Papua.”

Ribuan orang Papua telah meninggalkan desa mereka dalam dua tahun terakhir untuk menghindari operasi dan kekerasan oleh pasukan keamanan Indonesia.

Pada bulan Februari, para pemimpin Gereja Katolik di Papua menandatangani surat yang memohon diakhirinya konflik, dan mengatakan bahwa “perjuangan dengan kekerasan tidak akan pernah berhasil.”

“Kekerasan akan melahirkan kekerasan baru dan akan terus berlanjut. Karena itu kami mendesak semua pihak untuk menghentikan kekerasan,” kata para pemimpin gereja itu. Ditambah laporan dari Reuters

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest