Sebuah laporan hak asasi manusia terbaru di Tiongkok mengungkapkan bahwa ratusan pemimpin Muslim telah ditahan di wilayah Xinjiang sejak 2014.
Laporan yang dirilis oleh Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) pada 13 Mei, merinci penahanan massal terhadap Uighur dan para pemimpin Muslim Turki lainnya.
“Penganiayaan oleh Tiongkok terhadap para imam telah berlangsung selama beberapa dekade, tetapi baru pada tahun 2016 menjadi semakin kuat dan ribuan orang kemungkinan ditangkap dan dijatuhi hukuman,” kata Peter Irwin, pejabat program senior UHRP dan penulis laporan tersebut.
Direktur eksekutif UHRP Omer Kanat mengatakan “pengumpulan besar-besaran para imam” mengungkap niat pemerintah Tiongkok untuk menghancurkan keyakinan dan tradisi mereka.
“Melenyapkan guru agama adalah senjata untuk menghilangkan Islam dari tanah air kami,” katanya dalam sebuah pernyataan, dan menambahkan bahwa “imam Uighur dan Turki lainnya adalah penjaga kepakaran dan pengajaran agama.”
Laporan berjudul Islam Dirampas: Penganiayaan Tiongkok terhadap Imam dan Tokoh Agama Uighur mengungkapkan bahwa 1.046 imam Turki dan tokoh agama lainnya telah ditahan di kamp-kamp atau dipenjara sejak 2014.
Dokumen itu mencatat bahwa dari 1.046 kasus yang tercatat, 428 telah dikirim ke penjara resmi, termasuk 304 dijatuhi hukuman penjara.
Dari kasus dengan informasi hukuman, 96 persen telah menerima hukuman penjara lima tahun atau lebih, dan 25 persen dijatuhi hukuman 20 tahun atau lebih, seringkali dakwaannya tidak jelas.
Sebanyak 202 tokoh agama lainnya telah ditahan di kamp-kamp, sementara 18 lainnya meninggal dunia dalam tahanan atau di penjara, atau tak lama kemudian, kata laporan itu.
Laporang itu mendasarkan temuannya pada makalah resmi, kesaksian dari pihak kerabat, database publik dan swasta, dan laporan media.
Para imam itu telah dihukum penjara karena ajaran agama ilegal, sholat di luar masjid yang disetujui negara, kepemilikan materi agama ilegal, dan komunikasi atau perjalanan ke luar negeri.
Data tersebut mencakup kasus-kasus hukuman penjara 15 tahun atau lebih karena “mengajar orang lain untuk berdoa,” “belajar selama enam bulan di Mesir,” “menolak menyerahkan [sebuah] Alquran untuk dibakar,” dan hukuman seumur hidup karena ” menyebarkan iman dan menggerakkan orang. “
Dalam sebuah pernyataan, UHRP mengatakan angka yang disajikan tidak komprehensif, mengingat tingkat kerahasiaan yang ekstrim dan kurangnya transparansi di wilayah Uighur.
“Meskipun demikian, data tersebut memberikan indikasi yang mengkhawatirkan tentang skala dan tingkat keburukan penganiayaan pemerintah Tiongkok terhadap tokoh agama sejak 2014,” tambahnya.
Disebutkan pila dalam laporan itu bahwa otoritas Tiongkok juga melarang pengajaran agama di semua tingkat pendidikan, melarang penggunaan nama-nama Islam tradisional seperti Muhammad dan Medina untuk anak-anak Uighur, serta melarang jenggot panjang untuk pria dan jilbab untuk wanita Uighur.
Pemerintah juga dilaporkan melembagakan kampanye “anti-halal” untuk mencegah pelabelan makanan dan produk lain dengan cara ini, menghukum perjalanan haji tanpa persetujuan pemerintah, serta mengadopsi undang-undang yang secara luas mendefinisikan praktik keagamaan secara ketat sebagai “ekstremis”.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan negara-negara Barat sudah lama menuduh Tiongkok menindas Uighur dan kelompok minoritas Turki dan Muslim lainnya di wilayah Xinjiang, tetapi Beijing telah berulang kali membantah tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai “kebohongan abad ini.”
Pihak berwenang Tiongkok mengatakan bahwa kamp yang ditemukan di wilayah otonom bukanlah kamp konsentrasi, melainkan pusat pelatihan kejuruan yang menjalankan proyek pengentasan kemiskinan, serta memerangi terorisme dan separatisme.