Kelompok hak asasi manusia internasional mengecam kekerasan terhadap minoritas Kristen di Myanmar yang dilakukan oleh militer dalam aksi represif terhadap pengunjuk rasa di negara itu.
“Salah satu contoh terbaru dari penganiayaan terhadap orang Kristen adalah pembunuhan … terhadap seorang pendeta Baptis berusia 31 tahun di negara bagian Chin,” kata Benedict Rogers, analis senior Christian Solidarity Worldwide untuk Asia Timur.
Pendeta Cung Biak Hum dari Gereja Baptis ditembak mati pada tanggal 18 September saat ia mencoba membantu memadamkan api yang disebabkan oleh pemboman artileri militer.
“Mereka tidak hanya membunuhnya, tetapi mereka juga memotong jari manisnya untuk mengambil cincin kawinnya,” kata Rogers.
Rogers berbicara pada webinar Parlemen Eropa di Brussels, Belgia, pada 28 September.
Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik melaporkan bahwa hingga 27 September, setidaknya 1.136 orang telah tewas dalam bentrokan.
Diperkirakan ada 4,4 juta orang Kristen di Myanmar dengan sekitar 750.000 umat Katolik.
ADF International, sebuah kelompok bantuan hukum Kristen, memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 orang Kristen yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Myanmar utara tidak diberikan akses untuk mendapat makanan dan perawatan kesehatan.
Rogers mengatakan adalah penting untuk menyadari bahwa orang-orang Kristen telah menjadi sasaran militer yang selalu mengejar agenda nasionalis Buddha di Myanmar.
“Saya kira pertanyaan untuk masa depan Myanmar, atau Burma, adalah: Apakah masyarakat multi-etnis, multi-agama yang dalam kenyataannya, dalam komposisinya, seperti itu? Atau apakah itu akan menjadi masyarakat Buddhis Burma di mana etnis dan agama minoritas lain diperlakukan sebagai warga negara kelas dua?” kata Rogers seperti dikutip Catholic News Agency.
Alex Aung Khant yang mencalonkan diri sebagai kandidat independen dalam pemilihan Komite Pembangunan Kota Yangon tahun 2019 dan yang melarikan diri dari Myanmar setelah kudeta bulan Februari, mengatakan etnis dan agama minoritas di negaranya telah mengalami penganiayaan selama beberapa dekade
“Di Myanmar, kantor yang melayani KTP secara konkret memiliki dua pintu masuk. Ada satu pintu masuk bagi umat Buddha Bamar dan satu lagi pintu masuk untuk semua etnis lain, dan semua agama lainnya. Jadi ada diskriminasi sistemik sejak awal, sebagai warga negara,” katanya.
“Ini terjadi dalam pemerintahan dan juga ekonomi kami, karena KTP menentukan siapa Anda dan apa hak Anda. Salah satunya dalah hak Anda untuk memilih,” kata Khant.
“Jadi, kalau ada etnis yang mau kabur, dia harus ke kantor paspor dulu, di mana sudah ada antrean terpisah untuk semua etnis dan agama. Jadi, dari tahap itu mereka sudah menghadapi diskriminasi sistemik, di mana jalur mereka jauh lebih panjang dan jalur lainnya jauh lebih pendek.”