Gereja Katolik perlu menjalani “metanoia eksistensial” dan mengatasi dosa sosial memanipulasi alam yang serampangan, kata Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon, Myanmar.
Presiden Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) itu berbicara pada pertemuan online para pemimpin Gereja dari Asia dan Oseania tentang “sinodalitas gerejawi” pada 29 September.
Acara tersebut diselenggarakan oleh River Above Asia Oceania Ecclesial Network (RAOEN) untuk mendengarkan suara-suara sinode di Oseania dan Asia.
Penyelenggara menyoroti bahwa masalah lingkungan seperti kenaikan permukaan laut, penambangan dasar laut, dan peristiwa cuaca ekstrem hanya dapat diatasi, jika Oseania dan Asia bertindak bersama.
“Kalkulus moral Katolik perlu diformat ulang untuk memasukkan dosa ekologis,” kata Kardinal Bo dan menambahkan bahwa perusakan alam harus menjadi “dosa moral zaman modern.”
Ia mengatakan dosa ekologis perlu mendapat tekanan sama besar seperti terhadap dosa seksual di banyak bagian dunia Katolik.
Kardinal Bo mengatakan bahwa Asia adalah rumah bagi “agama ekologis”, yang memuja alam sebagai ekspresi ilahi dan mengakui sungai dan gunung sebagai tempat suci.
Prelatus itu mengatakan orang-orang Asia telah mengarusutamakan gagasan antar-keberadaan dan saling ketergantungan.
“Sementara banyak yang percaya bahwa komunitas adat hadir di wilayah Amazon, kita lupa Asia adalah salah satu benua adat terbesar,” kata kardinal.
Ia mengatakan bahwa dengan populasi minoritas sekitar 80 juta hingga 100 juta, ‘penginjilan baru menanti’ bagi Gereja Katolik di wilayah tersebut.
Kardinal Bo mengatakan Gereja harus melihat urgensi dan relevansi misinya dan memastikan bahwa kepedulian terhadap alam – sungai, gunung, laut – menjadi inisiatif unggulan.
Inisiatif online tersebut mengusung tema “Sinodalitas Gerejawi dalam Misi Bersama Oseania dan Asia” dan terselenggara berkat kerjasama antara Federasi Konferensi Waligereja Asia, Federasi Konferensi Waligereja Oseania, Dikasteri untuk Pembangunan Manusia Integral, Caritas, Misionaris Columban, dan Aliansi Jaringan Gerejawi.
Kardinal Mario Grech, sekretaris jenderal Sinode Para Uskup, berbagi tentang “sinodalitas dan cara-cara baru menjadi Gereja,” sedangkan Uskup Agung Peter Loy Chong, presiden Federasi Konferensi Waligereja Oseania, berbicara tentang perlunya mendengarkan “rakyat dan roh” Oseania dan Asia.
Menurut penyelenggara even itu bertujuan untuk menciptakan “ruang untuk sinode melalui dialog antara suara-suara lokal dan Gereja dan pemimpin ekumenis” untuk memperkuat “kolaborasi dan komitmen” antara berbagai kelompok dengan keinginan yang sama untuk peduli terhadap lingkungan.
Negara-negara pulau kecil mengalami kenaikan permukaan laut, penambangan dasar laut, dan cuaca ekstrem, kata penyelenggara.
Di Asia, perubahan iklim berdampak pada komunitas rentan yang terus mengalami kerusakan pada hutan, wilayah pesisir, dan keanekaragaman hayati yang lebih besar yang menopang semua kehidupan.
“Saat masyarakat berjuang untuk beradaptasi, upaya global dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah ini,” bunyi pernyataan RAOEN.
Kelompok ini mengatakan bahwa kekhawatiran ini “saling berhubungan” melalui “sungai di atas”, yaitu Samudra Pasifik, yang digambarkan sebagai “kehidupan, sungai Asia yang memberi makan segala sungai, musim, dan kehidupan.”