Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Dapat sanksi UE atas pelanggaran di Xinjiang, Tiongkok serang balik

Dapat sanksi UE atas pelanggaran di Xinjiang, Tiongkok serang balik

Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris dan Kanada telah menjatuhkan sanksi kepada pejabat Tiongkok atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

Sebagai balasan, pemerintah Komunis Tiongkok, dengan cepat mengambil tindakan lebih luas terhadap Uni Eropa, termasuk anggota parlemen Eropa, diplomat, institut dan keluarga, dan melarang bisnis mereka berdagang dengan Tiongkok.

Pemerintah negara-negara Barat berusaha meminta pertanggungjawaban Beijing atas penahanan massal atas Muslim Uighur dan agama minoritas lainnya di wilayah barat laut Tiongkok, di mana Amerika Serikat mengatakan Beiking melakukan genosida.




Kerja sama yang baik pada 22 Maret tampaknya menjadi buah awal dalam langkah diplomatik AS dan sekutunya untuk menghadapi Tiongkok, yang menjadi elemen inti dari kebijakan Presiden AS Joe Biden atas Tiongkok.

Pejabat senior administrasi AS mengatakan bahwa mereka setiap hari melakukan kontak dengan pemerintah di Eropa mengenai masalah terkait Tiongkok, yang mereka sebut “roadshow Eropa.”

“Di tengah meningkatnya kecaman internasional, (Tiongkok) terus melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam pernyataannya menjelang pertemuan dengan para menteri Uni Eropa dan NATO di Brussel pekan ini.

Kementerian Luar Negeri Kanada mengatakan: “Bukti kuat menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik dan dipimpin oleh pemerintah Tiongkok.”

Panel independen untuk hak asasi manusia PBB  mengatakan pada 2018 bahwa mereka telah menerima laporan yang dapat dipercaya bahwa sedikitnya 1 juta orang Uighur dan Muslim lainnya telah ditahan di Xinjiang.

- Newsletter -

Pemimpin agama, kelompok HAM, dan lainnya mengatakan sedang berlangsung tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida di Xinjiang. Pada bulan Agustus, para pemimpin agama, termasuk Kardinal Charles Bo dari Myanmar dan Kardinal Ignatius Suharyo dari Indonesia, mengatakan dalam sebuah surat terbuka bahwa “penindasan” di wilayah tersebut telah menjadi “salah satu tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan sejak Holokos.”

Pada awalnya pemerintah Tiongkok menyangkalnya, namun setelah itu mengatakan kamp-kampnya adalah tempat menyediakan pelatihan kejuruan dan dibutuhkan untuk melawan ekstremisme di negara itu.

Aksi protes untuk mendorong Kanada dan negara-negara lain untuk mengambil tindakan atas Tiongkok yang melakukan genosida terhadap penduduk Uighur dan minoritas Muslim lainnya di luar Kedutaan Besar Kanada di Washington, DC, 19 Februari. (Foto oleh Leah Millis/Reuters )

Uni Eropa menjadi yang pertama menjatuhkan sanksi pada empat pejabat Tiongkok, termasuk direktur keamanan tertinggi, dan satu entitas, sebuah keputusan yang kemudian ditiru oleh Inggris dan Kanada.

Pejabat yang juga menjadi target Amerika Serikat adalah Chen Mingguo, direktur Biro Keamanan Umum Xinjiang dan pejabat senior lainnya di wilayah itu, Wang Junzheng.

Amerika Serikat tahun lalu telah menetapkan sanksi kepada pejabat tinggi di Xinjiang, Chen Quanguo, yang tidak disasar oleh sekutu Barat lainnya pada hari Senin, untuk menghindari konflik diplomatik yang lebih besar, kata para ahli dan diplomat.

Menteri Luar Negeri Kanada dan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama dengan Blinken, mengatakan ketiganya satu suara dalam menuntut agar Beijing mengakhiri “praktik represif” di Xinjiang.

Bukti pelanggaran “luar biasa”, termasuk citra satelit, pernyataan saksi mata, dan dokumen pemerintah Tiongkok sendiri, kata mereka.

“Kami akan terus bersatu untuk menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok. Kami bersatu dan menyerukan keadilan bagi mereka yang menderita di Xinjiang,” tambah mereka.

Secara terpisah, Menteri Luar negeri Australia dan Selandia Baru mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan “kekhawatiran besar atas bertamabahnya jumlah laporan yang kredibel tentang pelanggaran hak asasi manusia yang keji terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang” dan menyambut langkah-langkah yang diumumkan oleh Kanada, Uni Eropa, Inggris dan AS.

Petugas keamanan berdiri di pintu masuk fasilitas yang disebut sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Kabupaten Huocheng di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Tiongkok, 3 September 2018. (Foto oleh Thomas Peter /Reuters)

Sanksi terbesar UE sejak tragedi Tiananmen

Langkah AS dan sekutunya diambil setelah pembicaraan selama dua hari antara pejabat AS dan Tiongkok pekan lalu, yang mengungkap ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.

Uni Eropa menuduh Chen Mingguo melakukan “penahanan sewenang-wenang dan merendahkan orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya, serta pelanggaran sistematis atas kebebasan beragama atau berkeyakinan”.

Pejabat lain yang mendapat sankis larangan melakukan perjalanan dan pembekuan aset adalah pejabat senior Tiongkok Wang Mingshan, mantan wakil sekretaris partai di Xinjiang, Zhu Hailun, dan Biro Keamanan Umum Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang.

Uni Eropa telah berusaha untuk menghindari konfrontasi dengan Beijing dan sanksi yang dicanangkan pada 22 Maret adalah tindakan signifikan pertama sejak tragedi Lapangan Tiananmen 1989, meskipun Brussels menargetkan dua peretas komputer dan sebuah perusahaan teknologi pada tahun 2020 sebagai bagian dari sanksi siber yang lebih luas.

Langkah tersebut dipuji oleh Amerika Serikat. “Tanggapan transatlantik bersatu mengirimkan sinyal kuat kepada mereka yang melanggar atau menyalahgunakan hak asasi manusia internasional,” kata Blinken.

Meskipun sebagian besar bersifat simbolis, sanksi UE menjadi tanda sikap keras terhadap Tiongkok, yang dianggap Brussels sebagai mitra dagang yang ramah tetapi sekarang dipandang sebagai pelanggar hak dan kebebasan sistematis.

Inggris telah berulang kali mengecam penganiayaan, kerja paksa dan sterilisasi yang terjadi pada “skala industri” di Xinjiang dan mengulangi kritiknya terhadap Beijing pada 22 Maret.

Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut kekerasan terhadap Uighur di Xinjiang sebagai “salah satu krisis hak asasi manusia terburuk pada zaman kita”.

“Penderitaan warga Muslim Uighur di Xinjiang tidak bisa diabaikan. Pelanggaran hak asasi manusia dalam skala ini tidak boleh diabaikan,” kata Raab kepada Majelis Rendah Inggris.

Jurnalis mengunjungi sebuah masjid di Aksu, di Xinjiang, Tiongkok, pada 24 April 2019 sebagai bagian dari tur media yang diselenggarakan oleh pemerintah Tiongkok. (Foto shutterstock.com)

Serangan balasan Beijing

Serangan balasan dari Beijing termasuk sanksi terhadap anggota parlemen Eropa, badan pembuat keputusan kebijakan luar negeri utama UE yang dikenal sebagai Komite Politik dan Keamanan, dan dua lembaga.

Pada tanggal 23 Maret, Tiongkok memanggil duta besar Uni Eropa, Nicolas Chapuis, untuk mengajukan “protes serius” dan menuntut agar mereka memperbaiki kesalahannya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada hubungan diplomatik.

“Sanksi yang didasarkan pada kebohongan tidak dapat diterima,” Wang Yi, menteri luar negeri dan penasehat negara, mengatakan secara terpisah dalam pertemuan bersama dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov yang sedang berkunjung.

Politisi Jerman Reinhard Butikofer, yang memimpin delegasi Parlemen Eropa untuk Tiongkok, termasuk di antara tokoh terkenal yang terkena dampak.

“Pimpinan Tiongkok telah memberi tahu saya bahwa saya tidak akan diizinkan mengunjungi Tiongkok, Hong Kong atau Makau. Dan kemudian ada Taiwan,” kata Butikofer melalui Twitter.

Bütikofer juga menjadi salah satu dari sejumlah anggota parlemen dari Anggota Aliansi Antar Parlemen untuk Tiongkok (IPAC) yang diberi sanksi oleh Beijing. IPAC mengeluarkan pernyataan pada 22 Maret yang menyesalkan intimidasi yang dilakukan Pemerintah Tiongkok untuk membungkam anggota parlemen dan penasihat aliansi.

“Misi IPAC tidak akan terganggu, yaitu untuk mempertahankan prinsip-prinsip tatanan dunia yang adil dan menghormati hak asasi, yang telah berada di bawah tekanan parah dalam beberapa tahun terakhir karena tindakan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok saat ini,” kata mereka.

Para pekerja berjalan menyusuri pagar pembatas fasilitas yang disebut pemerintah Tiongkok sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Dabancheng di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, 4 September 2018. (Foto oleh Thomas Peter/Reuters)

“Kami tidak akan tunduk pada upaya apapun untuk menekan kebebasan berbicara pada badan legislatif, universitas, atau ruang publik kami lainnya.”

Lembaga nonprofit Yayasan Aliansi Demokrasi, yang didirikan oleh mantan sekretaris jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen, termasuk dalam daftar yang dicekal, menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Tiongkok.

Juga termasuk Adrian Zenz, seorang sarjana Jerman yang penelitiannya dikutip oleh Departemen Luar Negeri tahun lalu yang menyoroti dugaan pelanggaran di Xinjiang. Tahun lalu, sebuah laporan oleh Zenz menuduh pihak berwenang Tiongkok menggunakan sterilisasi paksa, aborsi paksa, dan keluarga berencana paksa terhadap Muslim di wilayah tersebut.

Belanda telah memanggil duta besar Tiongkok untuk Den Haag setelah Beijing mengumumkan tindakannya terhadap 10 pejabat Eropa, sementara Parlemen Eropa, bersama dengan menteri luar negeri Jerman, Belanda, Belgia, dan menteri luar negeri lainnya, menolak pembalasan Tiongkok.

“Sanksi ini membuktikan bahwa Tiongkok sensitif terhadap tekanan,” kata anggota parlemen Belanda Sjoerd Sjoerdsma, yang dimasukkan dalam daftar sanksi Tiongkok melalui Twitter. “Biarlah ini menjadi penyemangat bagi semua kolega Eropa saya: Bicaralah!”

Larangan untuk masuk Tiongkok atau berbisnis dengannya dilakukan oleh Beijing terhadap sasarannya karena sangat merugikan kedaulatan negara atas Xinjiang.

Semua 27 pemerintah Uni Eropa sepakat dengan tindakan hukuman blok itu atas Tiongkok, tetapi Menteri Luar Negeri Hongaria, Peter Szijjarto, menyebutnya “berbahaya” dan “tidak berguna”.

Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) menyambut baik sanksi terkoordinasi dari Barat atas Beijing sebagai tanggapan atas pelanggaran hak asasi manusia yang menargetkan warga Uighur.

“Kerja sama antara pemerintah seperti ini yang belum pernah dilakukan sebelumnya adalah cara mengakhiri genosida.  Inilah yang diminta Uighur,” kata Omer Kanat, direktur eksekutif UHRP.

Tambahan dari Reuters

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest