Dampak dari kenaikan tarif beras impor terhadap kehidupan petani menjadi perhatian utama dalam aksi global tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Manila yang disebut One Billion Rising.
Aktivis hak-hak perempuan memulai kampanye pada 14 Februari dengan melakukan tarian protes rutin di beberapa kota di negara itu untuk meminta perhatian pada kondisi sektor pertanian.
Carleen Nomorosa dari Dewan Gereja-Gereja Nasional di Filipina mengatakan perempuan dan anak-anak “paling menderita” karena kebijakan pemerintah yang memengaruhi petani miskin.
Para pengunjuk rasa mengecam pemerintah mereka yang tunduk pada perintah Organisasi Perdagangan Dunia dan Kesepakatan Umum Tarif dan Perdagangan.
Meskipun ada kemarahan publik yang kuat, pemerintah Filipina tahun lalu menaikkan tarif impor beras.
Data dari lembaga independen Ibon Foundation mengungkapkan bahwa 3,2 juta metrik ton beras impor membanjiri pasar Filipina tahun lalu, 40 persen lebih tinggi dari impor sebelumnya.
Akibatnya, harga beras di pasar pertanian turun tajam hingga US$ 0,14 per kilogram, sementara produksi beras di negara ini sekitar US $ 0,24 per kilogram, menurut kelompok petani.
Penurunan harga telah menyebabkan hilangnya pendapatan US $ 1,7 juta untuk industri beras atau sekitar US$ 700 dari pendapatan per petani tahun lalu.
Ibon Foundation mengatakan kebijakan liberalisasi beras adalah indikasi kelalaian dan ketidakpedulian pemerintah yang sudah lama pada produksi beras dan pertanian secara umum.
Mereka juga menyatakan bahwa produsen beras dan konsumen tidak boleh diadu satu sama lain.
“Petani dan konsumen memiliki kepentingan bersama dalam perlindungan dan penguatan industri beras dalam negeri menuju swasembada beras,” bunyi pernyataan Ibon.