Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Muslim Uyghur dilaporkan dipaksa membuat sarung tangan Lacoste

Muslim Uyghur dilaporkan dipaksa membuat sarung tangan Lacoste

Sarung tangan yang dibuat untuk perusahaan Perancis Lacoste dilaporkan diproduksi oleh Muslim Uyghur dan etnis minoritas lainnya di kamp tahanan, tempat mereka dipaksa untuk menjalani pembinaan ideologis dan perilaku.

Lacoste, yang dikenal dengan logo buaya hijau, mengatakan telah menghentikan pengiriman produk setelah diberitahu tentang masalah tersebut oleh Konsorsium Hak Pekerja yang berbasis di AS, Associated Press (AP) melaporkan.

“Lacoste melarang penggunaan tenaga kerja paksa, wajib, atau tidak dibayar dalam bentuk apa pun,” kata juru bicara perusahaan Nathalie Beguinot kepada AP.




Sementara 95 dari sarung tangan itu sudah dijual di Eropa, sisa dari yang diproduksi di Yili Zhuo Wan Garment Manufacturing Co dijaga agar jauh dari pasar.

Beguinot menambahkan bahwa pabrik China yang dimaksud, sudah dikunjungi oleh auditor, yang tidak melaporkan masalah apa pun.

Direktur Eksekutif Konsorsium Hak Pekerja Scott Nova, mengatakan, Lacoste seharusnya tahu lebih baik daripada memercayai auditor yang mewawancarai pekerja di lokasi yang tidak dapat berbicara dengan bebas.

“Mengingat iklim ketakutan yang dibuat oleh pemerintah di Daerah Otonomi Xinjiang Uygur, upaya intensif yang dilakukan untuk menyembunyikan bukti kerja paksa dari pantauan asing, dan mengingat pengawasan ketat atas percakapan rahasia, tidak ada pekerja yang akan berani memberi tahu auditor perusahaan bahwa majikannya dan pemerintah melanggar hukum dengan memaksanya untuk bekerja di luar kehendaknya,” kata Nova kepada AP.

- Newsletter -

Pada tahun 2019, dua mantan pekerja Yili Zhuo Wan mengatakan kepada Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington bahwa mereka telah dipaksa untuk belajar bahasa Mandarin dan memuji pemerintah, sementara nyatanya mereka dibayar dengan upah seorang budak.

“Ini pada dasarnya adalah kerja paksa yang didorong oleh negara dan bagian dari pola pelanggaran hak asasi manusia yang jauh lebih luas,” kata Amy Lehr, yang turut menulis laporan CSIS tentang masalah ini.

Kasus ini menyusul laporan dari Lembaga Kebijakan Strategis Australia yang didanai Amerika Serikat, yang menemukan bahwa lebih dari 80.000 orang telah dikirim ke fasilitas manufaktur di sembilan provinsi dari 2017-2019, kadang-kadang langsung dari kamp-kamp tahanan di wilayah Xinjiang.

Lacotse merupakan satu dari 83 perusahaan asing dan Cina yang “secara langsung atau tidak langsung mendapat manfaat dari penggunaan pekerja Uyghur di luar Xinjiang melalui program transfer tenaga kerja yang berpotensi melanggar hak asasi.”

Perusahaan lainnya termasuk Amazon, Apple, BMW, Calvin Klein, Gap, Google, Huawei, L.L.Bean, Mercedes-Benz, Nike, Siemens, Sony, dan Tommy Hilfiger.

Kondisi mereka seperti pada fasilitas tahanan di Xinjiang, di mana mereka diharuskan untuk tinggal di asrama terpisah, belajar bahasa Mandarin, dan menjalani pembinaan ideologis saat mereka bekerja.

Mereka juga dilarang mempraktikkan iman mereka, diawasi secara terus-menerus, dan kebebasan bergerak sangat dibatasi.

Pemerintah Cina diperkirakan telah mengumpulkan antara 1-3 juta orang Uyghur dan minoritas Muslim lainnya, menahan mereka di kamp-kamp di seluruh wilayah itu sebagai upaya untuk  membentuk kembali pandangan keagamaan dan politik mereka.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest