Sepuluh dari 16 keuskupan di seluruh Jepang telah menangguhkan Misa publik dalam upaya untuk membantu menghentikan penyebaran virus corona.
Konferensi Waligereja Katolik Jepang (CBCJ) mengatakan bahwa tidak ada langkah-langkah wajib yang diperkenalkan pada tingkat nasional, serta menambahkan bahwa masing-masing keuskupan akan membuat kebijakan, Catholic News Agency (CNA) melaporkan.
“CBCJ tidak dalam posisi untuk mengeluarkan arahan karena situasi bervariasi di keuskupan dan masing-masing keuskupan mengambil langkah-langkah yang diperlukan,” Satoh Takaharu, juru bicara CBJC, mengatakan kepada CNA.
Takaharu menambahkan bahwa pihak berwenang Jepang tidak bertanggunjawab atas keputusan untuk menangguhkan ibadah umum.
“CBCJ tidak melakukan komunikasi dengan pemerintah Jepang untuk memutuskan apa yang harus dilakukan soal Misa,” katanya.
Keuskupan Agung Osaka telah membatalkan Misa umum 14 Maret, dan diperkirakan akan memperkenalkan langkah-langkah tambahan di masa mendatang.
Pada 10 Maret, Uskup Agung Tokyo Uskup Agung Tarcisio Isao Kikuchi mengumumkan pembatalan Misa dari 15-29 Maret.
“11 Maret adalah Hari Peringatan Bencana [gempa bumi dan tsunami] 2011 di Tohoku,” AsiaNews mengutip prelatus itu.
Karena “infeksi virus corona, kami tidak dapat menyelenggarakan Misa dan acara lainnya di Katedral Tokyo,” tambahnya.
Uskup Agung Kikiuchi mengatakan bahwa Pusat Relawan Katolik Tokyo telah menyiapkan video yang akan disiarkan pada 11 Maret sehingga orang-orang dapat “berdoa bersama.”
Pada 12 Maret, jumlah kasus virus corona di Jepang mencapai 624, setelah empat kasus baru dilaporkan hari itu.
Menurut wilayah prefektur, Hokkaido memiliki jumlah kasus terbanyak dengan 118, diikuti oleh Aichi dengan 104, Osaka (80), Tokyo (73), Kanagawa (46), dan Hyogo (41), televisi nasional Jepang NHK melaporkan.
Kementerian kesehatan mengatakan bahwa 40 orang dalam kondisi serius.
Pada 11 Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan virus corona sebagai pandemi, setelah ada peningkatan infeksi 13 kali lipat selama dua minggu terakhir.
WHO mencatat bahwa ada lebih dari 118.000 kasus tercatat di 114 negara, dengan 4.291 kematian.