Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Dunia gagal meminta tanggungjawab Beijing atas Pembantaian Tiananmen

Dunia gagal meminta tanggungjawab Beijing atas Pembantaian Tiananmen

Kegagalan komunitas internasional untuk meminta pertanggungjawaban penguasa komunis Cina atas Pembantaian Tiananmen tahun 1989 menguatkan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung oleh rezim itu.

Militer Tiongkok membantai sejumlah besar demonstran damai pro-demokrasi yang tak terhitung jumlahnya pada 4 Juni 1989, kata Human Rights Watch (HRW).

Rezim itu tidak pernah mengaku bertanggung jawab atas pembantaian itu atau membuat pejabat terkait bertanggung jawab secara hukum atas pembunuhan tersebut, kata HRW dalam sebuah pernyataan. Tidak ada kemauan untuk menyelidiki peristiwa tersebut atau mengeluarkan data tentang mereka yang terbunuh, terluka, dihilangkan secara paksa, atau dipenjara.

“Pemerintah Tiongkok tidak pernah mau bertanggungjawab atas Pembantaian Tiananmen, yang menyebabkan penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan orang, penindasan terhadap masyarakat sipil, dan melemahnya hukum dan lembaga HAM internasional,” kata Yaqiu Wang, peneliti HRW di Tiongkok.




“Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih kuat untuk menekan Beijing untuk mengakui kesalahan masa lalu dan menghentikan pelanggaran yang berkelanjutan,” lanjutnya.

HRW mengatakan bahwa pihak berwenang harus menghentikan semua intimidasi terhadap keluarga korban dan aktivis karena memperingati peristiwa tersebut dan membatasi diskusi mengenai tindakan keras tersebut.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada minggu-minggu sebelum peringatan, pemerintah telah bersiaga tinggi di seluruh Cina untuk mencegah peringatan atas pembantaian itu.

- Newsletter -

Pihak berwenang telah menempatkan dalam tahanan rumah atau membatasi pergerakan dan komunikasi dari para anggota Tiananmen Mothers, sebuah kelompok yang terdiri dari kerabat pada korban Pembantaian Tiananmen, termasuk Zhang Xianling, 82, dan Ding Zilin, 83, yang putranya tewas dalam kekerasan itu.

“Meskipun ada penganiayaan yang luar biasa, aktivis hak asasi manusia di seluruh Cina terus mengikuti semangat tahun 1989 dan mendorong demokrasi dan kebebasan di negara itu,” kata Wang. “Pemerintah di seluruh dunia perlu mendukung mereka, belajar dari mereka, dan menghadapi pelanggaran pemerintah Cina.”

HRW mengatakan bahwa rejim Cina terus mengabaikan himbauan internasional dan domestik yang menuntut keadilan bagi Pembantaian Tiananmen, dan sanksi yang diberlakukan pemerintah AS dalam menanggapi pembantaian itu selama bertahun-tahun telah diperlemah atau dihindari.

Kurangnya respons yang luas dan bermakna di kalangan publik internasional terhadap pembantaian dan penindasan yang terjadi selanjutnya menyebabkan pelecehan yang terus meningkat di Beijing, termasuk penahanan massal yang terus-menerus terhadap satu juta Muslim Turki, penutupan kasus COVID-19 selama berminggu-minggu, dan, yang terbaru, penerapan langsung undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang bertentangan dengan Hukum Dasar.

Bukannya mengakui dan memperbaiki catatan yang buruk atas hak asasi manusia, Beijing malah berusaha menampilkan dirinya sebagai pemimpin di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun tidak akan ada peringatan untuk pembantaian di Hong Kong atau Makau. Kedua bekas koloni itu melarang adanya peringatan, salah satu alasan adalah karena kekhawatiran akan COVID-19.

Acara di Hong Kong ini biasanya dihadiri oleh puluhan ribu orang. Kedua kota telah dijanjikan otonomi tetapi dalam beberapa tahun terakhir, penghormatan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan warga telah menurun secara signifikan, kata HRW.

Pembantaian Tiananmen dipicu oleh pertemuan damai para pelajar, pekerja, dan lainnya di Lapangan Tiananmen Beijing dan kota-kota Cina lainnya pada bulan April 1989, untuk menyerukan kebebasan berekspresi, akuntabilitas, dan mengakhiri korupsi. Pemerintah menanggapi protes yang terus memanas itu pada akhir Mei 1989 dengan mendeklarasikan darurat militer.

Pada 3 dan 4 Juni, militer melepaskan tembakan dan menewaskan banyak pengunjuk rasa damai dan orang-orang di sekitar. Di Beijing, beberapa warga menyerang konvoi tentara dan membakar kendaraan sebagai tanggapan atas kekerasan militer. 
Setelah pembunuhan itu, pemerintah menerapkan tindakan keras secara luas dan menangkap ribuan orang atas “kontra-revolusi” dan tuduhan kriminal lainnya, termasuk mengganggu ketertiban sosial dan pembakaran.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest