Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Kelompok Gereja di Filipina menolak RUU anti-terorisme

Kelompok Gereja di Filipina menolak RUU anti-terorisme

Semakin banyak kelompok gereja yang berpengaruh di Filipina menyatakan penolakan terhadap undang-undang anti-terorisme yang telah disahkan oleh legislatif negara minggu lalu.

Sekretariat aksi sosial konferensi para uskup Katolik Filipina menggambarkan rancangan yang diusulkan itu sebagai pelanggaran terhadap hak-hak manusia dan ejekan terhadap Konstitusi negara.

“Kami mengecam keras manuver terang-terangan dari proses legislatif dan supremasi hukum untuk menekan perbedaan pendapat yang sah,” kata badan gereja itu.

Dalam pernyataannya yang ditandatangani oleh Uskup Jose Colin Bagaforo, kelompok aksi sosial meminta Mahkamah Agung untuk melihat “konstitusionalitas” dari undang-undang yang diusulkan itu.




Dewan Gereja-Gereja Injili Filipina juga telah meminta Presiden Rodrigo Duterte untuk memveto tindakan yang diusulkan itu karena  “membahayakan” hak-hak orang Filipina.

Dalam sebuah pernyataan pastoral, dewan gereja Protestan mengatakan mereka percaya bahwa RUU itu “seharusnya telah menjalani proses pertimbangan yang luas” sebelum disahkan.

“Yang menyebabkan kami sangat khawatir adalah definisi terorisme yang tidak jelas, dan masa penahanan tanpa jaminan yang diperpanjang, yang membuka jalan bagi pelanggaran serius,” baca pernyataan kelompok itu.

- Newsletter -

Waktunya tidak tepat

Sebelumnya, beberapa kepala sekolah Katolik terbesar di negara itu juga meminta presiden untuk memveto RUU yang kontroversial, yang dikhawatirkan akan menindak hak-hak dasar orang Filipina.

Dalam sebuah pernyataan bersama, para pejabat sekolah Ateneo dan La Salle yang tersebar di seluruh negera itu mengatakan bahwa waktu pengesahan undang-undang itu “tidak tepat,” terutama selama pandemi virus corona.

“Pada saat ini, prioritas kita harus menopang sistem kesehatan kita, memberikan dukungan kepada pekerja kesehatan kita, memastikan makanan untuk masyarakat kita, merangsang ekonomi dan menyediakan pekerjaan bagi rakyat kita,” bunyi pernyataan yang ditandatangani oleh para imam Jesuit dan bruder-bruder De La Salle.

“Adalah kewajiban anggota parlemen kita sebagai pelayan publik untuk memastikan bahwa ancaman yang sangat nyata dan menakutkan bagi kesehatan dan ekonomi kita harus mendapat lebih banyak dedikasi dan perhatian mereka daripada dengan terburu-buru mengesahkan undang-undang yang, dengan pembuatannya yang serampangan, merusak kesakralan hak konstitusional, ”tambahnya.

Pengunjuk rasa melakukan aksi di Universitas Filipina untuk mengecam pengesahan RUU anti-terorisme di Kongres pada 4 Juni. (Foto oleh Jire Carreon)

Kelompok-kelompok bisnis telah menyuarakan penolakan mereka atas  diberlakukannya Undang-Undang Anti-Terorisme tahun 2020.

Sebuah pernyataan bersama yang ditandatangani oleh delapan organisasi bisnis yang dipimpin oleh Konferensi Pengembangan Manusia para Uskup-Pengusaha  mereka mengatakan pemerintah harus fokus pada upaya memerangi pandemi dan membantu bisnis dan warga daripada menyebabkan perpecahan.

“Kami sangat mendesak para pemimpin nasional dan sektor swasta untuk fokus saat ini pada apa yang benar-benar penting,” tambah kelompok itu.

Kelompok-kelompok bisnis mengatakan mereka sepenuhnya menghargai kebutuhan akan perdamaian dan keamanan tetapi menekankan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional saat ini telah ditangani oleh undang-undang dan kebijakan yang ada dan tidak memerlukan undang-undang baru.

Mereka mengatakan langkah yang diusulkan “sangat memecah-belah” karena jelas menimbulkan bahaya bagi hak asasi manusia “pada saat bangsa kita perlu bersatu.”

Usulan UU Anti-Terorisme tahun 2020 siap untuk ditandatangani Duterte setelah DPR menyetujui pada 3 Juni.




Presiden sebelumnya menyatakan langkah yang diusulkan itu mendesak, yang memungkinkan DPR mempercepat pengesahannya. RUU anti-terorisme berupaya mencabut Undang-Undang Keamanan tahun 2007, yang sudah cukup bermasalah, menurut kantor HAM PBB.

Definisi terorisme yang mengkhawatirkan

Dalam pernyataan bersama, para imam Yesuit dan bruder La Salle mengatakan hukum yang diusulkan itu menambah kecemasan dan ketakutan warga, karena ketentuan-ketentuannya yang meluas dan dapat dengan mudah disalahtafsir dan disalahgunakan.

“Yang mengkhawatirkan adalah definisi ‘teroris’ yang diperluas dan tidak jelas, kekuatan yang diberikan kepada Dewan Anti-Teror untuk menunjuk suatu kelompok sebagai ‘kelompok teroris’,  melemahnya perlindungan privasi dan perlindungan terhadap penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah,” kata mereka.

“Bukannya menjadi langkah untuk melindungi rakyat kita, di tangan yang salah, RUU ini dapat digunakan untuk menindas orang-orang kita,” kata mereka, menambahkan bahwa versi yang lebih baik dari undang-undang untuk memberantas terorisme, yang menghilangkan kekhawatiran  waraga harus dibuat.

Di bawah RUU itu, seorang tersangka teroris dapat ditahan tanpa surat perintah selama 14 hari, yang dapat diperpanjang 10 hari lagi, dan dapat ditempatkan di bawah pengawasan selama 60 hari, dan dapat diperpanjang hingga 30 hari lagi.

Seorang aktivis memegang plakat selama demonstrasi menentang RUU anti-terorisme di Kota Quezon pada 4 Juni. (Foto oleh Basilio Sepe)

RUU tersebut mengesahkan penyadapan tersangka teroris untuk jangka waktu maksimum 90 hari sebagai amandemen atas UU Anti-Penyadapan dan penahanan tanpa surat perintah penangkapan untuk jangka waktu maksimum 24 hari, bukan maksimum tiga hari saat ini.

Hukum ini menguatkan Dewan Anti-Pencucian Uang untuk mengorek ke rekening bank yang diduga kelompok teroris dan individu tanpa perintah pengadilan khusus dengan membekukan rekening tersebut selama 20 hari, dikenakan perpanjangan enam bulan oleh Pengadilan Banding, yang dikecualikan dalam “Hukum Kerahasiaan Deposito Bank.”

Perintah awal untuk melarang organisasi teroris juga tidak memiliki durasi sebelum proses banding.




Ancaman untuk melakukan terorisme dan ajakan untuk melakukan tindakan akan dihukum penjara 12 tahun, sementara berkonspirasi, perencanaan, pelatihan, persiapan, dan memfasilitasi untuk melakukan tindakan akan dihukum  penjara seumur hidup.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest