Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Commentary (Bahasa) Vonis terhadap editor Rappler ‘preseden berbahaya’ bagi media Filipina

Vonis terhadap editor Rappler ‘preseden berbahaya’ bagi media Filipina

Seorang hakim di Manila telah menjatuhkan vonis bersalah dalam kasus pencemaran nama baik yang diajukan terhadap Maria Ressa, kepala eksekutif media Rappler, dan mantan peneliti Reynaldo Santos Jr.

Ini menjadi preseden berbahaya bagi jurnalis dan bagi jutaan orang Filipina yang menghabiskan berjam-jam setiap hari mengikuti salah satu media sosial paling dinamis dan berani di dunia.

Hakim Rainelda Estacio-Montesa menjatuhkan keputusan itu ketika negara itu sedang memantau apakah Presiden Rodrigo Duterte akan menandatangani RUU anti-terorisme.

Keputusan hakim itu tidak tanggung-tanggung melangkahi hukuman satu tahun terhadap pencemaran nama baik, memperpanjangnya menjadi 12 tahun.




Artikel asli diterbitkan Rappler empat bulan sebelum undang-undang terhadap kejahatan dunia maya disahkan oleh administrasi mantan presiden Benigno Aquino pada September 2012.

UU itu termasuk pencemaran nama baik dunia maya, suatu kejahatan baru dengan hukuman lebih tinggi dari kejahatan pencemaran nama baik.

Pengusaha Wilfredo Keng mengajukan pengaduan pidana lima tahun setelah artikel itu diterbitkan, tetapi hakim Estacio-Montesa menguatkan klaim pemerintah bahwa koreksi dan pemutakhiran pada terbitan asli Rappler merupakan “publikasi ulang.”

- Newsletter -

Editor rappler menyatakan bahwa mereka hanya mengubah kesalahan ketik dalam berita.

Putusan itu juga menyoroti mengapa jurnalis Filipina telah lama berkampanye untuk mendekriminalisasi fitnah.

Undang-undang asli dan ketentuan Cybercrime Law mengecilkan perlunya penuntut untuk membuktikan kepalsuan dan kejahatan. Ini adalah hukum langka yang memberikan tanggung jawab pembuktian pada terdakwa.

Putusan itu, menurut Persatuan Jurnalis Nasional Filipina, menjadi yang terbaru dalam “rantai penindasan terhadap media.”

residen Rodrigo Duterte berpidato di hadapan personil Angkatan Darat Filipina dan Angkatan Udara Filipina di Manila pada 26 Mei. (Foto oleh Toto Lozano / Foto Presiden)

Lingkaran represi

Kasus pencemaran nama baik dunia maya yang dituduhkan kepada Rappler tidak boleh dilihat secara terpisah dari serangan lain terhadap platform berita online.

Media berita ini menghadapi tujuh kasus lain, termasuk tuduhan penghindaran pajak yang berasal dari klaim Duterte bahwa media itu adalah perusahaan milik asing.

Pengadilan Banding telah meminta Komisi Sekuritas dan Bursa untuk meninjau perintah penutupan atas Rappler.

Serangan-serangan terhadap Rappler, yang mencakup larangan untuk meliput Duterte, juga harus dilihat melalui prisma pemerintahan yang semakin otoriter.

Presiden sering memberi sinyal akan ada langkah pemerintah dengan memberikan pelecehan verbal terhadap yang dianggap sebagai musuh. Serangan-serangan ini diperbesar oleh pasukan besar di internet yang memanfaatkan disinformasi dan serangan pribadi terhadap para pengkritik.

Pemerintah baru-baru ini menutup jaringan siaran terbesar Filipina, ABS-CBN. Ada juga lonjakan ancaman dan pelecehan terhadap jurnalis, terutama ketika pemerintah berjuang mengendalikan dampak politik dari penguncian COVID-19 yang kacau balau.




Para pejabat keamanan nasional selalu mengangkat tuduhan konspirasi komunis setiap kali skandal dan tindakan pemerintah membangkitkan kemarahan publik. Teori-teori konspirasi ini hampir selalu mencakup media berita dan jurnalis yang dikenal dengan liputan kritis.

Penyerangan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi juga berjalan seiring. Selama penguncian COVID-19, polisi di Kota Cebu menangkap penulis naskah film Maria Victoria Beltran tanpa surat perintah karena telah menunggah postingan sarkastik mengenai program penahanan pandemi.

Polisi juga menangkap setidaknya dua kelompok pemberi bantuan karena membawa tanda-tanda yang mengkritik respon darurat kesehatan pemerintah.

Pihak berwenang telah meningkatkan tuduhan penghasutan terhadap politisi, klerus, dan aktivis buruh. Paling tidak dalam satu kasus, “bukti” pemerintah termasuk salinan publikasi berita independen.

Impunitas

Vonis pengadilan terhadap Ressa hanya dapat mendorong rezim Duterte untuk melakukan pelanggaran yang lebih besar.

Ini memperkuat budaya impunitas di Filipina, seperti pada kasus pembunuhan ribuan tersangka narkoba dan ratusan aktivis dalam empat tahun masa pemerintahan Duterte.

Duterte telah berulang kali menunjukkan intoleransi terhadap perbedaan pendapat, mengancam akan menangkap dan bahkan pembunuhan terhadap pekerja hak asasi dan aktivis petani dan masyarakat adat.

Tidak ada yang diinginkan pemerintah selain membuat warga negara merasa tidak berdaya, terkatung-katung, dan lemah dalam menghadapi kekuatan dan upaya-upaya pemerintah dalam mengejar tujuan-tujuan tirani.

Maria Ressa tiba di gedung pengadilan Manila pada 15 Juni. Pengadilan memutuskan bahwa Ressa bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik dunia maya dan menjatuhkan hukuman enam bulan dan satu hari hingga enam tahun penjara. (Foto oleh Jire Carreon)

Setelah vonis itu, Ressa berbicara kepada orang rakyat Filipina.

“Ini bukan hanya tentang Rappler atau tentang kami. Ini tentang kamu. Karena kebebasan pers adalah dasar dari setiap hak yang Anda miliki sebagai warga negara Filipina, ”katanya.

Orang Filipina tahu dari pengalaman bahwa perjuangan untuk kebebasan, untuk hak asasi manusia, untuk kebebasan sipil, dan untuk kebenaran bukanlah bertamasya. Meskipun telah bertahun-tahun dihantam oleh Duterte, mereka terus menegaskan hak untuk kebebasan berekspresi.

Mereka akan menyerap pukulan ini dan menuangkannya dalam keinginan untuk mengubah rasa sakit menjadi keberanian, bahkan ketika bahaya meningkat secara eksponensial bagi para pembangkang.

Warga Filipina akan bertarung karena alternatifnya adalah keheningan kuburan.

Inday Espina-Varona adalah jurnalis pemenang penghargaan di Filipina. Dia adalah penerima “Penghargaan untuk Kemerdekaan” dari Reporters Without Borders pada tahun 2018. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial LiCAS.news.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest