Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) India dituduh manfaatkan COVID-19 untuk membungkam aktivis

India dituduh manfaatkan COVID-19 untuk membungkam aktivis

Sebuah kelompok hak asasi manusia mendesak pihak berwenang India untuk membatalkan “tuduhan bernuansa politik” terhadap orang-orang yang secara damai memprotes peraturan kewarganegaraan yang mendiskriminasi Muslim dan mendesak agar mereka dibebaskan dari tahanan.

Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York mengatakan pada 15 Juni bahwa polisi India telah menggunakan “undang-undang anti-terorisme, penghasutan, dan undang-undang lainnya yang kejam terhadap pelajar, aktivis, dan pengkritik pemerintah, tetapi tidak bertindak melawan kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP).”

Dalam sebuah pernyataan, HRW mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, polisi malah mengajukan tuntutan baru setelah para aktivis diberikan jaminan untuk memastikan agar mereka tetap ditahan, yang menempatkan mereka pada risiko lebih lanjut selama penularan COVID-19 di penjara-penjara yang penuh sesak, dengan sanitasi,  kebersihan dan akses ke perawatan medis yang tidak memadai.




“Pihak berwenang India telah menggunakan penguncian COVID-19 nasional untuk menangkap para aktivis, membungkam perbedaan pendapat, dan mencegah protes di masa depan terhadap kebijakan diskriminatif,” kata Meenakshi Ganguly, direktur HRW Asia Selatan. “Bukannya mengatasi kekerasan polisi dimasa lalu, pihak berwenang malah berusaha untuk menambah daftar.”

Pada Desember 2019, pemerintah yang dipimpin BJP mengadopsi UU Amendmen Kewarganegaraan (CAA), yang untuk pertama kalinya di India, menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan.

CAA memberikan jalan kewarganegaraan bagi pengikut Buddha, Kristen, Hindu, Jain, Parsi, dan Sikh, tetapi bukan Muslim, yang melarikan diri dari penganiayaan dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan.

Sebagai tanggapan, protes pun pecah di seluruh negera itu menyusul kekhawatiran bahwa tindakan tersebut, bersama dengan proses verifikasi nasional yang direncanakan untuk mengidentifikasi “migran ilegal,” dapat mengancam hak kewarganegaraan jutaan Muslim India.

- Newsletter -

Kekerasan saat protes pecah di Delhi pada 24 Februari, yang menewaskan sedikitnya 53 orang dan ratusan lainnya terluka, kebanyakan dari mereka adalah Muslim. HRW mengatakan bahwa polisi gagal merespons secara memadai dan kadang-kadang terlibat dalam serangan-serangan ini.

“Pihak berwenang telah gagal melakukan investigasi yang tidak memihak dan transparan terhadap kekerasan,” kata HRW.

Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan bahwa sementara protes damai dibubarkan setelah pemerintah mengumumkan penguncian pada bulan Maret untuk menahan penyebaran COVID-19, pihak berwenang sejak itu mulai menangkap demonstran, termasuk mahasiswa dan aktivis, dan mengajukan tuduhan penghasutan, pembunuhan, dan terorisme , menuduh mereka melakukan “konspirasi” untuk “mencemarkan nama baik negara di arena internasional.”

Karena penguncian COVID-19, mereka yang ditangkap tidak memiliki akses untuk mendapatkan penasihat hukum atau anggota keluarga mereka, kata HRW.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest