Ketika hendak melahirkan bayinya, Ann terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kendaraan yang mereka pinjam untuk dipakai menuju klinik bersalin di ibukota Filipina.
Sebagian besar wanita di komunitas miskin perkotaan di negara itu lebih suka melahirkan di klinik karena lebih terjangkau daripada rumah sakit.
Di klinik itu bukan dokter yang membantunya bersalin melainkan seorang bidan. Karena pandemi saat ini, banyak wanita merasa nyaman melahirkan di klinik.
Ann mengatakan dia takut ke rumah sakit karena “berisiko” karena meningkatnya jumlah kasus penyakit virus corona.
Wanita 21 tahun itu melahirkan anak keduanya dan dia berharap itu akan lebih mudah. Namun dia mengatakan kepada LiCAS.news ternyata “tiga kali lebih menyakitkan.”
Ann melahirkan anak pertamanya dengan suami Joel, 31 tahun, seorang sopir jeepney, ketika dia baru berusia 17 tahun.
“Saya sangat takut saya tidak akan bisa mendorong bayi saya keluar, atau bahwa saya akan mati kesakitan,” katanya.
Dia dilarikan ke klinik bersalin ketika dia mulai merasakan kontraksi, tetapi dia tidak segera diterima karena protokol karantina yang ada.
Jadi, dari 26 Mei hingga 28 Mei, Joel mengantar Ann pergi pulang klinik menggunakan kendaraan pinjaman.
“Kami takut menggunakan mobil klinik karena mungkin terkontaminasi (COVID-19),” katanya.
Selama proses persalinan Ann memikirkan biaya yang menumpuk. Apalagi Joel kehilangan pekerjaannya ketika pemerintah melarang kendaraan umum beroperasi saat lockdown.
Keluarga juga tidak menerima bantuan yang dijanjikan dari pemerintah untuk mereka yang kehilangan sumber pendapatan karena pandemi.
“Kami hanya mengandalkan paket bantuan yang diberikan kepada kami oleh pemerintah setempat atau orang-orang dari organisasi non-pemerintah,” kata Ann.
Ann dan bayinya akhirnya bisa pulang berkat bantuan keluarga dan teman-teman mereka yang membantu membayar tagihan di klinik.
Sebelum pandemi, sekitar 2.400 wanita di Filipina meninggal karena kehamilan dan persalinan yang sebenarnya dapat dicegah, menurut Dana Penduduk PBB.
Peningkatan jumlah ini dipandang menjadi salah satu dampak potensial pandemi pada kesehatan reproduksi seksual wanita di negara ini.
“Akses perempuan terhadap informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang mendasar menjadi sangat penting dalam menanggapi krisis kesehatan,” kata Marevic Parcon dari Jaringan Global Perempuan untuk Hak Reproduksi.
Parcon mengatakan semua perhatian pejabat kesehatan dialihkan ke tanggapan COVID-19. Dia mengatakan hal itu membuat perempuan menjadi tambah rentan.
Parcon mengatakan kesehatan wanita “umumnya terkena dampak buruk” pandemi karena “perubahan sumber daya dan prioritas.”
Dia mengutip kematian setidaknya tiga ibu dalam beberapa bulan terakhir karena fasilitas kesehatan menolak untuk menerima mereka karena pandemi.
Katherine Bulatao, 26, memilih untuk melahirkan dengan bantuan bidan karena takut akan penyakit virus corona. Tak lama setelah melahirkan, dia menderita pendarahan hebat.
Suaminya mengantarnya ke enam fasilitas medis dan semuanya menolak mereka dengan berbagai alasan seperti tidak ada suplai darah untuk transfusi, tidak ada ruang operasi yang tersedia, dan salah satu meminta uang muka sebesar US $ 600.
Pasangan itu tidak memiliki uang, tetapi suami Katherine berjanji akan menemukan cara untuk mendapatkan uang dan memohon agar istrinya masuk ke fasilitas itu. Rumah sakit menolaknya.
Akhirnya, pada percobaan ketujuh, sebuah rumah sakit di pinggiran ibukota Manila menerima Katherine. Tapi sudah terlambat. Dia kehilangan nyawanya karena pendarahan lima jam setelah melahirkan.
Baby boom
Dana Penduduk PBB memperkirakan bahwa lebih dari 47 juta wanita diperkirakan kehilangan akses untuk pelayanan kontrasepsi karena pandemi.
Organisasi PBB mengatakan situasi itu dapat mengakibatkan sekitar tujuh juta kehamilan yang tidak diinginkan.
Di Filipina, para ahli mengatakan bahwa lockdown akan berarti gangguan dalam layanan kesehatan reproduksi bagi lebih dari lima juta wanita di negara itu.
Lebih dari 1,8 juta kehamilan yang tidak direncanakan sudah diharapkan tahun ini, dan Institut Kependudukan Universitas Filipina memperkirakan lonjakan kelahiran bayi (baby booming) akibat virus corona” dengan tambahan 751.000 kehamilan yang tidak direncanakan.
“Ini akan menjadi jumlah kelahiran tertinggi di negara ini sejak 2012,” kata Juan Antonio Perez III, direktur eksekutif Komisi Kependudukan dan Pembangunan.
Menurut data pemerintah, jumlah kelahiran pada tahun 2012 adalah 1,79 juta dan perlahan-lahan menurun karena layanan keluarga berencana menjadi lebih banyak tersedia.
Tetapi lockdown telah mengubah situasi.
Vicky, seorang guru Paud berusia 28 tahun, tidak pernah memeriksakan kehamilannya sejak dia tahu dia hamil tiga bulan lalu.
“Mereka mengatakan bulan ketiga sangat penting,” katanya, “tetapi saya tidak dapat menemukan dokter yang bertugas di dekat komunitas kami.”
Suatu hari, dia khawatir terinfeksi virus corona.
“Saya muntah sangat parah, kepala terasa sangat sakit, dan saya mengalami demam ringan selama tiga hari,” katanya.
“Saya seharusnya bertemu dokter saya, tetapi dia mengatakan kliniknya ditutup sementara,” kata Vicky.
Dia dirujuk ke dokter lain di kota terdekat, tetapi dia mengatakan dia takut untuk masuk ke rumah sakit.
“Saya tidak ingin pergi ke rumah sakit karena mereka mungkin akan menandai saya sebagai ‘orang dalam pengawasan’ COVID-19,” kata Vicky.
“Itu bisa menjadi mahal dan bisa saja membuat saya terkena virus,” katanya.
Selama sebelum COVID-19, fasilitas kesehatan pemerintah akan memberikan vitamin dan vaksin gratis kepada wanita hamil.Semuanya berhenti selama pandemi dan lockdown.
“[Wanita hamil] benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan pada saat seperti ini. Apakah aman untuk pergi ke klinik? Apa yang kita lakukan?” kata Vicky.
Dia khawatir bahwa suatu hari dia akan dipaksa mendatangi klinik atau rumah sakit untuk pemeriksaan.
“Saya berharap segalanya akan menjadi lebih baik sebelum saya melahirkan, tetapi saya juga sedih bayi saya akan menghadapi dunia seperti ini,” katanya.