Keuskupan Hong Kong telah menginstruksikan institusi akademik Katolik di kota tersebut untuk menjelaskan ketentuan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru kepada para siswa.
Para guru didorong untuk mengembangkan nilai-nilai yang benar tentang identitas nasional siswa dan untuk menghormati simbol-simbol nasional Tiongkok termasuk bendera dan lagu kebangsaan.
Dalam sebuah surat, Peter Lau Chiu Yin, utusan bidang pendidikan keuskupan, menyarankan kepada sekolah-sekolah untuk membentuk mekanisme reguler agar “secara efektif memantau penanganan bahan ajar, tugas, kertas ujian, dan buku” yang dipilih oleh staf pengajar dan instruktur, CNA melaporkan.
Pada bulan Juni, Beijing telah memberlakukan undang-undang keamanan yang kontroversial “mengkriminalisasi subversi, pemisahan diri, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing” di Hong Kong.
Ketentuan undang-undang itu menyatakan bahwa Hong Kong harus “mendorong pendidikan keamanan nasional di sekolah dan universitas” dan pemerintah harus “mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperkuat komunikasi publik, bimbingan, pengawasan, dan regulasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan keamanan nasional, termasuk di sekolah dan universitas.”
Keuskupan Hong Kong mengatakan kepada administrator sekolah agar memastikan bahwa sekolah adalah komunitas “yang dipimpin oleh pendidik profesional dan didasarkan pada nilai-nilai kesalehan, mengejar kebenaran, kebajikan, dan perdamaian dalam segala situasi.”
Keuskupan juga mengatakan bahwa guru harus “menangani bahan ajar secara ketat, rasional, obyektif, dan tidak memihak sesuai dengan prinsip dan tujuan silabus, kemampuan, dan kebutuhan siswa, secara profesional, dan membina nilai-nilai positif pada siswa.”
Surat tersebut menegaskan bahwa sekolah Katolik harus mencegah “politisasi” siswa dan tidak membiarkan mereka terlibat dalam kegiatan politik apa pun tanpa izin sekolah.
“Kebijakan dan peraturan di dalam sekolah harus mencegah kampus dari politisasi dan harus melarang orang menggunakan lingkungan sekolah untuk promosi pesan, posisi, atau pandangan politik,” bunyi surat itu.
Kelompok Kepedulian Kristen Internasional mengatakan bahwa meskipun Keuskupan Hong Kong menyatakan bahwa surat itu hanya sebagai “saran”, instruksi tersebut “mengirimkan sinyal yang jelas tentang penurunan kebebasan akademik” di sekolah-sekolah Katolik Hong Kong.
Kelompok tersebut mengklaim bahwa Gereja Katolik di Hong Kong juga telah ditekan untuk memperketat cengkeramannya pada sistem pendidikan karena Beijing “semakin memperluas pengaruhnya.”
“Tindakan ini jelas merupakan konsekuensi dari undang-undang keamanan yang baru saja disahkan dan upaya untuk menghentikan protes demokratis, yang telah berlangsung selama setahun terakhir dengan partisipasi banyak siswa,” kata kelompok itu.
Kelompok tersebut mencatat bahwa hampir setengah dari 3.725 siswa yang ditangkap selama demonstrasi berasal dari sekolah menengah.
Pada 10 Agustus, polisi menangkap beberapa aktivis demokrasi terkemuka, termasuk Agnes Chow yang berusia 23 tahun -seorang Katolik- yang mengatakan bahwa aktivismenya dipengaruhi oleh pendidikan Katolik.
Kardinal John Tong Hon, administrator apostolik Keuskupan Hong Kong, sebelumnya mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut “tidak akan berpengaruh pada kebebasan beragama.”
Prelatus itu juga mengatakan bahwa hubungan umat Katolik Hong Kong dengan Takhta Suci tidak dapat dianggap sebagai “kolusi dengan kekuatan asing” di bawah ketentuan undang-undang yang baru.